Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PEMUKA agama dalam Islam ternyata tidak hanya laki-laki saja. Di zaman sahabat nabi, seorang perempuan yang cukup masyhur bernama Sayyidah Nafisah, menjadi ulama perempuan terkemuka.

Masih memiliki turunan dengan Nabi Muhammad Saw, Nafisah lahir dari pasangan Al-Hasan dan Ummu Walad di Makkah pada pertengahan Rabiul Awal 145 H. Ayah kakeknya adalah Ali bin Abi Thalib.

Meski lahir dari keluarga terpandang pada masa Dinasti Abbasiyah, tidak membuat Nafisah sombong. Sebaliknya, ia dikenal memiliki gaya hidup zuhud, bersahaja, dan tekun mempelajari ilmu Al Quran, hadis, fikih, dan cabang keilmuwan Islam lainnya.

Karena keahlian dan minat besarnya pada ilmu, Sayyidah Nafisah dijuluki sebagai Ummul ‘Ulum. Gelar lain yang disematkan kepadanya adalah Nafisat al-Ilm wal Ma’rifat, Nafisat Thahira, Nafisat al-Abidah, Nafisat al-Darayn, Sayyidat al-Karamat, Sayyidat Ahlul Fatwa, dan Umm al-Awaajiz.

Pada saat yang sama, ia juga dijuluki sebagai ‘Abidah Zahidah, yaitu ahli ibadah yang tekun menjalani ritual dan berperilaku asketisme atau meninggalkan duniawi.

Meskipun menjalani kehidupan sebagai seorang sufi tak membuat ia melupakan lingkungannya. Ia masih terlibat dalam perkumpulan di masyarakat dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di sekitar. Sayyidah Nafisah bahkan pernah memimpin gerakan rakyat menentang penguasa yang zalim. Ia menyuarakan kritikannya dengan lantang.

Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah memberi kesaksian bahwa Nafisah adalah seorang perempuan kaya dan dengan kekayaannya ia banyak membantu orang-orang, terutama mereka yang lumpuh hingga yang sakit parah.

Selama kurang lebih 30 tahun, Nafisah kerap kali mengunjungi Mekkah untuk berhaji sembari berpuasa, ia juga merupakan seorang penghafal qur'an dan telah menghatamkan al-qur'an sebanyak 1.900 kali. Tidak hanya membaca, ia memahami makna dan ilmu dari setiap tulisan di Al Quran.

Pada 26 Ramadan 193 H/808 M, Sayyidah Nafisah tiba di Kairo. Kabar kedatangannya menyebar luas ke berbagai penjuru, masyarakat menyambutnya dengan antusias. Setiap hari ratusan orang datang ingin bertemu untuk berbagai kepentingan, mulai dari meminta doa, bertanya tentang suatu permasalahan, hingga belajar tentang ilmu tertentu.

Tidak hanya masyarakat biasa, orang yang ingin menemui Nafisah adalah para ulama-ulama terkemuka, seperti Imam Syafii. Pertemuan itu menjadi relasi antara guru dan murid yang erat di antara dua tokoh besar ini.

Ketika Imam Syafii jatuh sakit, ia pernah mengutus muridnya untuk meminta doa dari Sayyidah Nafisah. Ketika muridnya pulang, atas izin Allah Imam Syafii sembuh dari sakitnya. Hingga akhir hayat, atas hubungannya yang erat ini, Imam Syafii berwasiat kepada Al-Buwaithi supaya meminta Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya ketika ia meninggal.

Wasiat itu dipenuhi. Imam Syafii kemudian wafat pada 204 H/820 M, jenazahnya dibawa ke rumah Sayidah Nafisah untuk disalatkan.

Empat tahun kemudian, Nafisah meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Ia meninggal tepat ketika menyelesaikan bacaan surat Al-An'an ayat 127, yang memiliki arti "Mereka disediakan Darussalam (surga) pada sisi Tuhan-Nya”.

Sayyidah Nafisah menjadi dikenal sebagai salah satu dari tiga wali perempuan terkemuka di Mesir, selain Sayyidah Zainab binti Muhammad dan Sayyidah Sakinah.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women