PEMERINTAH Kota Surabaya mulai hari ini (10/11/2022) menghapus kebijakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi pelajar SD dan SMP dengan mengubahnya menjadi program penumbuhan karakter siswa.
Untuk mendukung hal itu, jam pelajaran di sekolah berakhir pada pukul 12.00 WIB lalu dilanjutkan dengan progam pendalaman karakter siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Yusuf Masruh menjelaskan keseriusannya untuk mengurangi beban PR para siswa. Hal itu disesuaikan dengan Instruksi Wali Kota Surabaya agar aktivitas sosial siswa bisa lebih banyak dibandingkan jam sekolah yang panjang.
Karena itulah dengan dipangkasnya jam belajar di kelas, siswa bisa mengikuti pembelajaran terkait pengembangan bakat seperti mengaji, menari, melukis, dan sebagainya.
Para siswa SD dan SMP juga akan diberikan pengayaan untuk menuntaskan pelajaran di sekolah. Dengan demikian, anak tidak ada lagi beban mengerjakan PR di rumah. Pendalaman karakter tersebut diharapkan bisa melatih siswa lebih mandiri, berani berpendapat, dan lebih aktif untuk menyelesaikan tugas/ proyek di sekolah.
Tujuan dihapuskannya PR bagi para siswa menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi adalah demi menyediakan ruang kreatif untuk anak. Dan pembentukan karakter siswa juga termasuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua.
Namun demikian, pembentukan karakter siswa tidak bisa diserahkan 100 persen kepada guru di sekolah. Peran orangtua tetap krusial karena waktu anak di rumah lebih banyak dibandingkan di sekolah. Dan keluarga harus tetap menjadi 'sekolah pertama' bagi anak untuk membangun karakternya menjadi manusia yang santun tutur katanya, luhur pekertinya, dan cerdas secara emosional.
Wali Kota menegaskan bahwa karakter unggul akan terbentuk manakala orangtua mampu memberikan kasih sayang dan bimbingan kepada anak.
Dukungan terhadap keputusan Pemkot Surabaya ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim.
Menurut Mendikbudristek, PR atau tugas LKS (Lembar Kerja Siswa) yang rutin akan mengambil banyak waktu anak, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan karakter dan keterampilan. Kalaupun diberikan PR, seharusnya tidak bersifat memberatkan, namun lebih untuk menambah kemampuan siswa.
Respons positif dari Mendikbudristek tersebut berbanding terbalik dengan sejumlah orangtua yang justru mengkhawatirkan kebijakan bebas PR ini. Mereka khawatir waktu yang kosong itu malah digunakan anak untuk bermain.
KOMENTAR ANDA