Menjadi salah satu pembicara dalam talkshow
Menjadi salah satu pembicara dalam talkshow "Kanker Payudara Makin Meningkat, Gen atau Pola Makan?" (29/10/2022)/ Agung Hadiawan
KOMENTAR

"SAYA mendapatkan kabar terkena kanker saat berulang tahun ke-40 ketika tinggal di Australia."

Itulah ucapan Dian Islamiati Fatwa mengawali kisahnya saat menjadi narasumber dalam talkshow "Kanker Payudara Semakin Meningkat, Gen atau Pola Makan?" yang digelar Farah.id (29/10/2022).

Menetap di Australia selama 18 tahun, Dian adalah seorang broadcaster yang membangun karier cemerlang di jaringan Australia Broadcasting Corporation (ABC). Ia juga dikenal sebagai politikus perempuan yang lantang menyuarakan pendapatnya.

Di balik sosoknya yang selalu tampak bersemangat, ada kisah perjuangan melawan kanker payudara yang benar-benar menempa ketangguhannya sebagai perempuan.

Diceritakan Dian, setiap wilayah di Australia memiliki kebijakan yang mewajibkan perempuan-perempuan yang dianggap berpotensi memiliki kanker untuk melakukan deteksi dini kanker payudara (screening) setiap dua tahun.

Namun karena kesibukan yang sangat menyita waktu, ditambah ia pun merasa sehat dan selalu mengonsumsi makanan yang menyehatkan, ia merasa tak perlu untuk melakukan skrining.

"Dan ketika akhirnya diperiksa, saya melihat wajah dokter radiologi menjadi pucat," kenang Dian.

Saat diberitahu bahwa ia mengidap kanker stadium 3 (menuju 4), Dian sulit untuk percaya. Ia tak menyadari kondisinya yang sudah gawat.

Apa sih, kanker ini? Kok bisa saya terkena kanker? Berapa uang yang harus saya persiapkan untuk biaya pengobatannya? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sembuh setelah dioperasi? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikirannya kala itu.

Namun ada satu hal yang tak bisa ia lupakan.

"Resepsionis di depan saya sibuk menelepon rumah sakit-rumah sakit. Jadwal operasi saya waktu itu adalah di waktu Paskah, yang mana di Australia, rumah sakit tutup selama perayaan Paskah. 'Ini pasien kanker, kamu harus menerimanya untuk dioperasi' bentak si resepsionis kepada direktur rumah sakit," kata Dian.

Ternyata, jika rumah sakit tidak mengacuhkan pasien kanker sedangkan sudah ada pemberitahuan tentang itu, maka rumah sakit tersebut akan dikenakan sanksi hukum.

 

"Dari situlah saya sadar, banyak orang yang peduli kepada saya, padahal saya tidak mengenal mereka, dan mereka pun tidak peduli apakah saya punya uang atau tidak, mereka juga tidak peduli siapa saya."

Namun Dian tak kuasa menahan kegundahannya ketika dokter bedah menyatakan ia harus menjalani mastektomi (pengangkatan sebagian atau seluruh bagian payudara).

"Bagi saya, payudara adalah identitas saya sebagai perempuan. Bagaimana jika saya tidak lagi punya payudara? Proses sejak awal terdiagnosis kanker payudara hingga operasi adalah masa denial (penyangkalan), yang memang dialami banyak pasien kanker. Banyak dari mereka akhirnya memilih jalur alternatif dengan harapan siapa tahu bisa sembuh, siapa tahu tidak perlu dioperasi," cerita Dian.

"Setiap penyintas tentu punya kisah heroik masing-masing. Tapi memang yang membedakan adalah karena saya tidak punya keluarga di Australia. Yang membuat saya terharu adalah ketika teman-teman menawarkan diri untuk membantu, mulai dari membersihkan rumah, memasak, hingga memandikan—karena saya waktu itu belum bisa bergerak."

Alumnus Monash University itu mengenang kembali saat pertama kali ia tersadar setelah dioperasi. Ketika membuka mata, sayup-sayup terdengar suara orang membaca Ayat Kursi. Dian berpikir bahwa kematian sudah menghampirinya.

Namun ternyata, sang pelantun Ayat Kursi itu adalah Leila Ch. Budiman, kolumnis Kompas. Lantunan ayat Al-Qur'an itu dibacakan Leila sejak Dian belum sadar. Itulah sebuah dukungan dahsyat yang diberikan begitu mengetahui Dian menjalani pengobatan kanker payudara di Australia.

"Karena itulah saya bertekad untuk survive, fighting spirit saya mencuat karena dukungan dari orang-orang di sekitar saya, dukungan itulah yang sangat penting," ujar Dian dengan mata berkaca-kaca.

Tak hanya dikelilingi banyak teman yang peduli, Dian pun bersyukur bahwa dokter yang menanganinya bersikap luwes layaknya seorang teman.

Lalu bagaimana cara Dian menjaga semangat untuk terus menjalani hidup dengan segudang aktivitas?

"Yang paling penting adalah accepting (menerima). Selalu ada pertanyaan, kenapa saya yang terkena, saya makan sehat, saya rajin olahraga ke gym, kenapa bisa terkena kanker. Saya pernah mengalami masa tidak bisa berjalan dan harus memakai tongkat sehingga ketinggalan trem saat pulang kerja," kata Dian.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women