PROSES yang dijalani untuk memeluk agama Islam sungguh menggetarkan. Tak butuh waktu lama bagi perempuan terpelajar itu untuk memutuskan menjadi seorang muslimah.
Dia merasakan ada fajar harapan dalam Islam guna mengisi kehampaan spiritual selama bertahun-tahun. Langkahnya pun makin mantap untuk tinggal di komunitas mayoritas muslim.
Sayang seribu kali sayang, kekecewaannya justru menumpuk tatkala berinteraksi langsung dengan kaum muslimin.
Perempuan mualaf itu mempelajari dan meyakini sifat-sifat baik Allah Swt., namun yang membuatnya tercengang, mengapa pemeluk Islam malah bersikap jauh sekali dari akhlak Tuhan mereka.
Maka terjadilah guncangan lagi di hatinya. Nyaris saja perempun itu bersikap apatis. Apalagi kenyataan sosial yang dihadapinya berbeda jauh dengan harapan, bagaikan langit dan bumi dibandingkan lingkungan sosialnya terdahulu.
Sebetulnya, apa yang tengah mengguncang sang mualaf bukanlah sesuatu yang benar-benar mengejutkan. Siapa saja dapat merasakan hal yang serupa, terlebih bagi mereka yang terlanjur mematok harapan teramat tinggi.
Yang sempurna hanya Allah
Agar lebih adil menanggapi dinamika ini terlebih dahulu patut dipahami bahwa fenemona macam begini ibarat melihat dua sisi mata uang.
Pada sisi idealis, Islam dilihat dari doktrinnya yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, di sana tercantum segala tuntunan hidup yang semuanya mengandung kebaikan, tidak ada yang buruk secuil pun.
Namun, pada sisi lain, sisi realitas sosial, pada kehidupan muslim jelas tidak akan ada kesempurnaan, sebab mereka hanyalah manusia biasa.
Oleh sebab itu, lihatlah hakikat Islam kepada ajaran-ajaran sucinya, bahkan dengan melihat serta meneladani Tuhannya. Apabila setiap insan ingin menjadi muslim yang baik, maka dirinya perlu merujuk kepada sifat-sifat kebaikan yang ditunjukkan Ilahi.
M. Quraish Shihab dalam buku Akhlak: Yang Hilang Dari Kita (2016: 77) menerangkan:
Tidak berarti bahwa manusia hendaknya berusaha menjadi serupa dengan Tuhan Yang Maha Esa karena tidak ada yang sama dengan Allah, bahkan yang seperti dengan-Nya pun tidak ada, bukan saja dalam kenyataan, tetapi juga dalam imajinasi makhluk.
Manusia dianugerahi Allah daya-daya yang bila diasah dan diasuh dengan baik akan berhasil menjadikannya manusia utuh sebagai dampak keberhasilannya meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk.
Dalam konteks ini, Imam al-Ghazaly menegaskan bahwa kesempurnaan hamba Allah (manusia) dan kebahagiaannya terletak pada kemampuannya bertakhalluq dengan akhlak Allah serta menghiasi diri dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya, sesuai dengan apa yang tergambar dalam kemampuan manusia.
Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menyatakan: “Latihlah diri kalian berakhlak dengan akhlak/sifat-sifat Allah.”
Betapa menakjubkan kebaikan Allah Swt., lihatlah betapa banyak kejahatan bahkan kedurhakaan yang dipentaskan oleh umat manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Ilahi tetap memberi mereka nikmat hidup dengan berbagai karunia yang menyertainya.
Kecewalah pada hamba, bukan pada-Nya
Dunia ini bukanlah surga, tidak ada dan tidak pantas siapapun menuntut kesempurnaan di tempat kefanaan.
Jadi, alih-alih larut dalam kecewa, hendaknya kita melakukan sesuatu yang tidak mengecewakan. Perlu ditegaskan ulang bahwa setiap muslim bukan hanya numpang lewat saja dalam kehidupan ini, ada nilai-nilai kebaikan yang kita tebar, yang keluhurannya dipetik dari saripati kebaikan Ilahi.
Tidak mungkin manusia menyerupai Tuhan, tetapi guru terbaik dalam kebaikan itu adalah Allah Swt. Sekiranya pernah kecewa dengan hamba-hamba-Nya, maka kita tidak akan pernah kecewa dengan Allah Swt.
Banyaknya keburukan yang ditemui di lingkungan bukan alasan untuk patah semangat menjadi sosok baik. Jangan sampai rasa kecewa membuat kita apatis untuk berbuat baik.
Karena toh, kebaikan di bumi ini jauh lebih besar dari keburukan. Seandainya kita berada di lingkungan yang tidak sesuai harapan, maka jadikanlah diri kita inspirasi untuk perubahan kebaikan itu.
KOMENTAR ANDA