JUDUL ini dipetik dari ucapan yang meluncur dari bibir seorang perempuan paruh baya. Bukan, dia tidak menyebut tentang dirinya sama sekali. Karena toh perempuan tersebut sudah punya dua anak dari suami yang mapan. Mestinya kehidupannya sudah tidak ada yang dirisaukan lagi, tetapi kondisi adik perempuan terus bikin resah hatinya.
Sulit bagi orang untuk tidak mengakui kalau adiknya memang cantik. Orangnya juga cukup supel dalam bergaul. Apalah daya, dalam usia yang makin matang tapi belum juga melangkah ke pelaminan.
Berkali-kali taaruf hasilnya hanyalah kekecewaan, semuanya kandas di tengah jalan. Setiap tahun adik perempuannya terus menurunkan kriteria suami idaman, tetapi selalu saja yang datang memutuskan mundur teratur berlandaskan alasan yang membingungkan.
Intinya, cantik saja tidak cukup. Pesona lahiriah itu memang menggoda, tetapi ada pesona lain yang lebih hakiki.
Apabila ditelurusi ayat demi ayat dalam Al-Qur’an tidak ditemukan perempuan cantik dalam kitab suci. Artinya, perempuan cantik memang tidak menjadi lakon dalam Al-Qur’an. Banyak sekali perempuan yang dikisahkan oleh kitab suci, akan tetapi tidak satu pun yang diulas berdasarkan kecantikan fisiknya.
Memang sih, sangat mungkin deretan perempuan yang diabadikan kitab suci itu juga memiliki kecantikan fisik yang menakjubkan, tetapi bukan dimensi itu yang disorot oleh Al-Qur’an. Sama sekali tidak! Ada sesuatu yang melebihi keindahan fisik, sesuatu yang membuat pesonanya melebihi yang terlihat oleh indera penglihatan.
Sayangnya fenomena macam ini sering luput dari pantauan, terlebih manusia ini makhluk visual, yang suka melihat yang indah-indah. Namun, pesan tersirat dari kitab suci ini hendaknya menyadarkan siapapun untuk lebih fokus pada saripati keindahan.
Dan kita sama-sama tahu, kecantikan paling dahsyat itu adalah yang terpancar dari dalam diri, yakni aura.
Dalam rentang masa yang cukup panjang, umat manusia sudah melakukan berbagai upaya demi memancarkan aura dirinya, mulai dari menempuh cara-cara klenik hingga yang ilmiah.
Richard Webster pada buku Aura Reading for Beginners: Develop Your Psychic Awareness for Health & Success (2011: 1) menerangkan:
Aura adalah emanasi (pancaran) tak terlihat atau medan energi yang mengelilingi semua makhluk hidup. Bahkan, aura, meskipun mengelilingi seluruh tubuh, juga merupakan bagian dari setiap sel tubuh dan mencerminkan semua energi kehidupan halus. Oleh karena itu, ia dapat dianggap sebagai perpanjangan dari tubuh, daripada sekedar sesuatu yang mengelilinginya.
Energi yang mengalir melalui aura kita mencerminkan kepribadian, gaya hidup, pikiran, dan emosi kita. Aura jelas mengungkapkan kesejahteraan mental, fisik, dan spiritual kita.
Segelintir orang mengklaim bahwa aura itu hanyalah sebuah fenomena elektromagnetik dan harus diabaikan. Sedang yang lain percaya bahwa hal itu terdiri dari percikan kehidupan dan menaungi kesadaran tingkat tinggi kita, yang memberikan energi yang diperlukan bagi kita untuk hidup dan berkegiatan.
Namun, aura juga mengandung warna, dan warna diciptakan dari cahaya. Sir Isaac Newton adalah orang pertama yang membuktikan hal ini pada tahun 1666 ketika ia mengamati aksi cahaya matahari melewati sebuah prisma kaca, yang menciptakan pelangi.
Sebagaimana dilansir iluvislam.com, bahwa begitu banyak penelitian dilakukan oleh pihak Barat dan peneliti-peneliti biologi tentang keberadaan aura dan getaran. Seorang ilmuwan Rusia misalnya menghabiskan 50 tahun mempelajari tentang aura dan pembacaannya menggunakan efek Kirlian. Bahkan sudah ada pengusaha di seluruh dunia menggunakan efek Kirlian untuk membaca aura seseorang untuk mendeteksi masalah kesehatan mereka.
Lantas bagaimana Islam menjelaskan tentang aura diri, perihal kecantikan dari dalam itu, tentang keindahan yang pesonanya hakiki?
Ternyata, jauh sebelum umat manusia heboh perkara aura diri, jauh sebelum dunia ilmiah modern meneliti cahaya insan, kitab suci sudah membahasnya secara lebih indah, di antaranya adalah:
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, diri mereka akan mendapatkan pahala dan cahaya, sebagaimana tertera dalam surat al-Hadid ayat 19, yang artinya, "Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqin dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.”
Bahkan cahaya aura itu dapat dijadikan kekuatan pesona diri, surat Al-Anfaal ayat 29, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, kalau kamu bertakwa (menjauhi perbuatan dosa) kepada Allah Swt., maka Allah Swt. akan menganugerahi kekuatan cahaya, yang mana dengannya engkau akan mampu memisahkan dari dalam antara hak dan batil.”
Siapapun dapatlah merasakan, bagaimana seseorang yang bersih hatinya, baik akhlaknya, terpuji kepribadiannya—meski pun ia berkulit gelap—dirinya malah tampak bercahaya, dan banyak pula yang tertarik padanya serta mendambakan dirinya. Begitulah gambaran orang-orang yang memiliki cahaya aura yang dipaparkan kitab suci.
Akan tetapi kadar cahaya setiap manusia kan berbeda-beda; ada yang cahaya dirinya terang benderang, ada yang cahaya jiwanya redup, ada juga cahayanya yang barangkali sudah padam (saking banyaknya dosa). Oleh sebab itu cobalah introspeksi diri! Jangan-jangan cahaya jiwa kita memang sudah terlanjur redup atau pun padam.
Andaipun memang terjadi demikian, kondisi yang membuat pesona tidak memancar itu bukannya tidak dapat diatasi. Bukankah agama mengajarkan pula doa mohon disempurnakan cahaya kepada Allah.
Al-Qur’an yang mengajarkan doa itu pada surat at-Tahrim ayat 8, yang artinya, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau (Allah) Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Kita boleh saja berakhlak baik terhadap sesama manusia, tetapi jangan dilupakan akhlak terhadap Tuhan, keimanan terhadap-Nya paling menentukan sedahsyat apa aura keindahan Anda akan terpancar dari dalam.
KOMENTAR ANDA