PRAY FOR CIANJUR kini bergema. Duka lara sudah menjadi milik segenap anak bangsa. Ibarat satu tubuh, kini seluruh tubuh meriang.
Sebetulnya banyak yang takjub, kok bisa gempa hanya 5,6 skala Richter menghadirkan kehancuran besar dan menelan korban demikian besar?
Banyak pendapat yang berseliweran, tetapi musibah pun punya keajaibannya sendiri.
Betapa dahsyatnya hati petugas berbaju merah itu, yang tiada henti tersenyum memberi aba-aba kepada driver alat berat. Senyumnya menyemangati penggalian demi menemukan korban yang masih terhimpit longsoran.
Senyuman yang tetap bertakhta tatkala dua tangannya mengais potongan tubuh manusia. Senyuman yang menenangkan keluarga korban yang tengah bercucuran airmata. Senyuman yang menutupi kelelahan diri yang melalui siang malam hingga pagi yang berat.
Sengaja tidak ditampilkan foto wajahnya, semata-mata menjaga nilai keikhlasannya di mata Ilahi. Agar senyuman itu dapat terus membakar semangat para petugas dan relawan untuk terus berjuang demi kemanusiaan.
Betapa sigapnya petugas bekerja di tengah kepanikan gempa, yang dengan cepat mendirikan tenda-tenda darurat yang menjadi rumah sakit lapangan. Perlengkapan medis pun mengalir dari berbagai penjuru sehingga pelayanan korban bencana bisa dimaksimalkan.
Ambulans datang silih berganti bagai air bah, dan yang menakjubkan setiap korban gempa datang langsung dikerubuti banyak petugas medis, langsung diobati, semisal yang terluka pun lekas dijahit dengan rapi.
Tidak ada korban yang menunggu apalagi terlantar, sebab para petugas medis lekas menyambut setiap kedatangan ambulans. Mereka tetap fokus meski suara jerit tangis dan kepungan aroma hawa kematian. Petugas medis dan relawan benar-benar berkejaran dengan waktu demi menghidupkan peluang hidup bagi siapapun makhluk Tuhan.
Kerennya hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, banyak ambulans berdatangan dari Depok, Bogor, Cibinong, dan daerah sekitarnya, yang melaju cepat menembus beratnya medan lokasi bencana, dari siang hingga malam bahkan dini hari suara lengkingan ambulans tiada henti bersahut-sahutan, dengan sopir yang sigap kebut-kebutan, yang melupakan lelahnya demi lillah.
Jelas sekali ini bukanlah nasi bungkus biasa, melainkan penyambung nyawa bagi korban bencana, yang diperjuangkan tim dapur umum di tengah goyangan gempa susulan.
Bala bantuan mengalir dari berbagai penjuru, mobil-mobil dapur umum berdatangan, semua pihak yang terdampak memperoleh makanan.
Begitupun kendaraan logistik yang lekas memasok oksigen, peralatan medis lainnya, tenda, ranjang, kantong mayat, serta perlengkapan darurat lainnya.
Semuanya seperti menemukan irama yang rancak demi menjunjung kemanusiaan itu, yang membuktikan kita tidak pernah sendiri.
Deretan tenda merah putih ini adalah simbol dari persatuan kita dalam melalui masa-masa sulit.
Merah tandanya berani, sekalipun menghadapi risiko berbagai pihak tetap hadir memberikan bantuan, menunjukkan nyali mereka.
Putih sebagai lambang suci, karena ketulusan itu terbit dari hati yang putih. Hanya hati yang suci rela mengorbankan dirinya demi harga kemanusiaan.
Atas nama kemanusiaan pula liputan ini tidak menampilkan secara langsung wajahnya korban, dan pastinya tidak akan memamerkan foto jenazah.
Karena gempa yang melanda Cianjur ini cukup menyadarkan diri kita betapa berharganya kemanusiaan. Anak bangsa bersatu padu, bisa memupus perbedaan suku, ras, golongan atau agama atas nama kemanusiaan.
Musibah adalah guru yang baik bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.
KOMENTAR ANDA