DEMI mencapai kehidupan yang lebih tenang, perempuan itu mengajak keluarganya pindah ke tempat terpencil, bahkan yang cukup terisolir di kawasan pegunungan. Sengaja dihindarinya hiruk-pikuk kota demi memperoleh ketenangan batin.
“Di kota banyak godaannya!"
Dia berkata dengan suara bergetar.
Tempat tinggal baru memang memberikan keheningan dan kesepian, tidak ada sama sekali hiruk-pikuk kota yang memekakkan hati. Lantas, apakah perempuan itu sudah menemukan ketenangan yang diharapkannya?
Ternyata belum sama sekali.
Tempat yang sepi sunyi tak kunjung menyuguhkan ketenangan batin; yang ada kepalanya makin panas dan hatinya kian membara.
Kepalanya nyut-nyutan mengalkulasi rezeki yang didapat orang lain, yang kebanyakan pihak-pihak yang tidak disukainya. Malam-malam panjang kembali dilaluinya dengan mata terjaga dan otak yang berkecamuk.
Hatinya malahan lebih membara, mendata dosa-dosa pihak-pihak lain, terutama kesalahan mereka yang membuat dirinya terpuruk.
Hatinya terasa makin remuk tatkala menghitung tumpukan kesalahan orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Maka ketenangan yang ia dambakan justru semakin menjauh.
Tak salah bila kita mengatakan bahwa perempuan itu belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia memandang dunia dengan penuh prasangka. Dilanda gundah dan nestapa akibat sibuk menghitung keberuntungan dan kesalahan orang lain.
Orang-orang macam beginilah yang seringkali gagal menemukan ketenangan hidupnya.
Bermukim di tempat yang terpencil, yang sepi sunyi sekalipun, belum jaminan akan memperoleh ketenangan. Selama kita tidak piawai mengelola diri sendiri, niscaya hanya kegelisahan yang hadir mengacaukan kehidupan.
Tanpa terasa kita sudah terdorong oleh suatu hasrat gelap menghitung-hitung rezeki orang lain. Ini jelas bukan kalkulasi biasa, sebab akan berujung pada pesta-pora setan yang menggelorakan api iri nan berkobar-kobar.
Perkara hitung-hitung rezeki orang macam begini efeknya dapat menimbulkan api iri itu melalap hati sendiri. Tidak akan ada ketenangan jika terus membandingkan diri kita dengan mereka yang posisinya di atas.
Memang sudah momentumnya rezeki mereka lagi berlimpah, dan siapa pula yang dapat mencegah tatkala Tuhan berkehendak melimpahkan karunia-Nya terhadap hamba yang dikehendaki-Nya.
Sebaiknya, cobalah untuk bersyukur dulu dengan rezeki kita yang ada di saat ini, sembari berdoa agar Tuhan memberikan momentum yang tepat dan rezeki yang lebih barakah bagi kita sekeluarga. Cara ini insya Allah akan lebih menenangkan hati serta memberikan pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Jarang sekali manusia yang mau dengan sadar menghitung kesalahannya sendiri, karena yang jamak terjadi malah mendata kesalahan-kesalahan orang lain.
Padahal cara itu justru merupakan bumerang yang akan menghantam jiwa kita sendiri. Sebab akan menumbuhkan sifat sombong yang berurat dari perasaan merasa benar sendiri.
Ini jelas berbahaya!
Dunia tasawuf melahirkan banyak tokoh yang luar biasa dalam menciptakan kajian yang menenangkan hati. Di antaranya, adalah sufi yang melahirkan aliran suka menghitung-hitung, tetapi yang dihitung adalah diri sendiri, perihal kekurangan diri sendiri bukannya menghitung rezeki apalagi kesalahan orang lain.
Hamka dalam buku Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf (2016: 119-120) menerangkan:
Namanya Harits al-Muhasibi, al-Muhasibi artinya orang yang senantiasa menghitung. Karena ada suatu kata-kata hikmah kaum tasawuf, “Hasibu anfusakum qabla an tuhasabu,” artinya, “Hitunglah kamu sendiri sebelum kamu dihitung”. Beliau meninggal tahun 243 H. (856 M).
Harits al-Muhasibi inilah yang getol menggelorakan umat manusia untuk menghitung diri sendiri. Alih-alih menghitung-hitung (kebaikan dan keburukan) orang lain yang justru merusak tatanan hati, lebih baik menghitung diri sendiri.
Silahkan hitung, seberapa besar rasa syukur kita? Seberapa banyak rezeki yang telah diterima? Seberapa banyak dosa yang telah ditabur, terutama dosa terhadap Tuhan?
KOMENTAR ANDA