ANGGOTA Komisi Paripurna Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) Subkomisi Pendidikan Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., M.A., Ph.D menegaskan salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual di tengah masyarakat adalah cara berpikir terhadap orang lain.
Hal itu ia sampaikan dalam Seminar HUT Korpri ke-51 bertajuk "Ciptakan Lingkungan Kerja Aman, Nyaman, dan Merdeka dari Kekerasan" yang disiarkan saluran YouTube KEMENDIKBUD RI (5/12/2022).
Menurut Prof. Alimatul, ASN (Aparatur Sipil Negara) harus bekerja dalam kondisi yang aman dan nyaman untuk bisa mewujudkan tujuan Indonesia maju.
Prof. Alimatul mengawali paparannya dengan menyebutkan Panca Prasetya Korpri nomor 2 yaitu "menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara".
"Yang saya highlight adalah terkait 'menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara' yang di dalamnya adalah bagaimana kita menghargai kehormatan atau menghormati menyangkut martabat, harga diri, nilai-nilai keluhuran seseorang, atau sesuatu yang menjadi sumber keberadaannya," ujar Prof. Alimatul.
"Kalau kita bicara tentang kekerasan seksual atau kekerasan pada umumnya, ini bicara tentang harkat, martabat manusia. Karena salah satunya berangkat dari cara melihat manusia lain. Itulah yang banyak saya highlight terkait perspektif," tambahnya.
Diketahui bahwa stigma yang selama ini berkembang di masyarakat tentang laki-laki yang harus dilayani juga sumber fitnah adalah harta, tahta, dan wanita, semua itu membuat posisi perempuan menjadi lemah.
Survei Infid menyebutkan bahwa stereotipe terhadap gender perempuan tersebut semakin memperlemah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual bahkan memicu terjadinya victim blaming hingga kriminalisasi korban.
Yang disalahkan adalah perempuan, dengan dalih dianggap menggoda, menantang, dan menyetujui aktivitas seksual (tidak melawan). Bahkan perempuan pun dihukum, padahal dia sudah menjadi korban.
Kondisi tersebut juga tampak dari hasil survei yang memperlihatkan bahwa 70 persen responden sepakat bahwa terjadinya tindak perkosaan pada perempuan disebabkan karena gaya berpakaian (blaming the victim).
Perlu dipahami bahwa kekerasan seksual beragam bentuknya. Mulai kekerasan non-fisik berupa catcalling alias candaan seksis yang jika terbukti maka pelaku bisa dijatuhi hukuman penjara 9 bulan atau denda 10 juta rupiah, kekerasan seksual secara verbal di dunia maya, pelecehan seksual, hingga kekerasan seksual secara fisik berupa tindak perkosaan.
Untuk itu, Prof. Alimatul menjelaskan bahwa ada dua cara yang harus dilakukan masyarakat untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual yaitu mengubah struktur penyebab (redesigning) dan mengubah mental model (rethinking).
Mengubah struktur penyebab bisa dilakukan dengan menurunkan berbagai narasi yang menoleransi kekerasan seksual, serta memperkuat kebijakan dan program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS).
Sedangkan untuk mengubah mental, masyarakat harus memahami bahwa perempuan memiliki martabat kemanusiaan.
Perempuan adalah manusia yang memiliki derajat kemuliaan sama dengan laki-laki. Perempuan juga bukan satu-satunya sumber fitnah (harta, tahta, wanita), laki-laki juga bisa menjadi sumber fitnah.
Tak hanya harus bisa mencegah, setiap anggota masyarakat juga harus memiliki kesadaran untuk tidak membiarkan kekerasan seksual terjadi.
Menariknya, Prof. Alimatul juga membawa perihal kekerasan seksual ke dalam pembahasan agama.
"Ajaran agama apa pun, enggak ada (yang mengatakan) kalau kamu melihat perempuan cantik atau laki-laki ganteng, maka mintalah nomor teleponnya lalu lecehkanlah, enggak ada. Yang ada adalah ghadul bashar—tundukkan pandangan, bagi yang sudah berkeluarga segera pulang ke rumah, yang belum berkeluarga berpuasalah," tegas Prof. Alimatul.
Jika begitu adanya, keharusan menundukkan pandangan tentulah akan semakin bermakna jika perempuan pun berusaha menjaga kemuliaannya dengan cara berpakaian yang santun. Bukankah demikian?
KOMENTAR ANDA