MUSAFIR adalah istilah yang tidak akan pernah usang untuk menggambarkan kehidupan manusia yang memang tak lebih dari sekadar perjalanan.
Sekiranya cukup tahu diri dengan status musafir, maka kita akan mampu menjalani hidup tanpa beban. Insya Allah, hidup akan terasa lebih tenang.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam buku Syarah Riyadush Shalihin (Jilid II) (2019: 471-472) menerangkan:
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah saw. memegang kedua pundakku, lalu bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan engkau adalah orang asing atau orang yang menyeberang jalan." (HR. Bukhari)
Perumpamaan yang disebutkan oleh Nabi saw. adalah faktual. Karena manusia di dunia ini adalah seorang musafir. Dunia bukan tempat tinggal untuk selamanya, tetapi dunia adalah kampung yang hanya dilewati. Pengendara sangat cepat perjalanannya yang tidak sampai sehari semalam.
Seorang musafir kadang singgah di suatu rumah, lalu beristirahat. Akan tetapi, musafir dalam kehidupan dunia tidak menetap, ia selalu dalam pengembaraan. Setiap saat kita menempuh sejengkal jarak di dunia ini, artinya kita semakin mendekat kepada akhirat.
Musafir sejati adalah insan yang terlatih bijaksana menakar dirinya. Ia tidak banyak membebani diri dengan bawaan, merasa cukup dengan apa adanya. Justru banyaknya bawaan hanya menambah berat beban yang dipikul, sementara perjalanan sang musafir masihlah panjang.
Sikap tidak mau menumpuk beban itulah yang membuat musafir lebih mampu menikmati kehidupannya. Musafir menyesuaikan diri dengan keadaaan tanpa banyak menekan diri dengan berbagai rongrongan kehendak.
Kehidupan musafir itu tidaklah menetap, alias terus berpindah-pindah tempat. Demikianlah hakikat kehidupan, manusia hanyalah berpindah-pindah alam, atau tidak pernah menetap selamanya pada suatu posisi.
M. Fethullah Gulen pada bukunya Islam Rahmatan Lil 'Alamin (2014: 299) mengungkapkan:
Dunia hanyalah salah satu terminal yang kita lewati. Banyak ayat dan hadis yang menerangkan hakikat tersebut. Manusia datang dari alam arwah ke rahim ibu. Dari rahim ibu menuju kehidupan dunia.
Setelah melewati masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan masa tua, ia pindah ke kubur dan alam barzakh. Dari sana ia menuju kebangkitan. Dari kebangkitan menuju kehidupan abadi. Manusia melewati seluruh tahapan tersebut. Ia berada dalam kehidupan dunia ini hanya beberapa saat.
Penjelasan di atas sudah menyingkap fase demi fase yang dilalui setiap insan. Pada hakikatnya kita hanya berpindah-pindah alam saja, dan tidak akan pernah berhenti, kecuali bermuara di surga atau neraka.
Berhubung kita hanyalah musafir, yang harus berpindah-pindah alam, maka jadinya keterlaluan bila ada manusia begitu tergila-gila dengan dunia.
Buat apa cinta mati dengan sesuatu yang pasti kita tinggalkan. Terlalu besar pengorbanan kita jika habis-habisan mencintai suatu kefanaan yang bernama dunia.
Apabila kita tengah gembira gara-gara meraih kegemilangan dunia, maka janganlah tenggelam dalam eforia yang memabukkan itu. Ingatlah, toh kita hanyalah musafir!
Sehebat apapun kejayaan yang kita raih, pada hakikatnya semua yang dibanggakan itu tidak akan abadi. Oleh sebab itu, gembiralah sekadarnya dan tetaplah rendah hati.
Apabila kita tengah dilanda kesedihan, gara-gara dipukul oleh kegagalan atau dirundung kemalangan, maka jagalah hati agar tetap bersinar. Toh, tidak ada situasi yang benar-benar buruk di dunia, sebab alam ini pasti kita tinggalkan.
Jalanilah romantika dunia ini dalam takaran yang sewajarnya, sebab kehidupan hakiki itu ada di alam yang berbeda dari dunia ini.
KOMENTAR ANDA