SEBAGAI ibu baru, perempuan muda itu amat terbantu dengan adanya biskuit bayi. Betapa tidak, biskuit itulah yang membuatnya bisa lebih mudah memberikan asupan tambahan terhadap anaknya. Dia pun bersyukur punya sedikit tambahan waktu untuk beristirahat, karena memberikan biskuit memang lebih praktis.
Sejak menikah pula, ia rutin membekali sang suami dengan bungkusan biskuit di tas kantornya. Perempuan itu menyadari betapa berat perjuangan sang suami berangkat Subuh dan berjam-jam di kendaraan umum menuju tempat kerja. Bekal biskuit itu cukup membantu lambung suaminya agar tidak kosong melompong.
Kemudian datanglah ibu mertua, nun jauh dari pulau seberang. Tanpa tedeng aling-aling, ibu suaminya itu menunjukkan sikap tidak suka atas biskuit bayi.
Dan ternyata, malah sang mertua protes, “Cermati dulu halalnya?”
“Cobalah memasak!” ujarnya.
Begitulah hubungan menantu mertua, yang kadang pasang naik dan juga bisa pasang surut. Bahkan perkara biskuit pun dapat menjadi tema yang menarik diperdebatkan.
Tentunya bukan wilayah kita membahas dinamika yang berkembang di keluarga tersebut, sebab topik utama kali ini adalah biskuit halal. Selera orang boleh berbeda-beda, tetapi kebutuhan terhadap makanan halal tidak perlu diperselisihkan lagi.
Biskuit yang demikian populer di era modern ini ternyata bukanlah barang baru, karena sejak zaman dahulu kala manusia telah berhasil menciptakannya. Malah di era modern ini, biskuit semakin banyak titik kritisnya karena dicampurkan dengan berbagai jenis bahan tambahan.
Lilly T. Erwin pada buku 39 Resep Homemade Biskuit Australia (2015: 4) menerangkan:
Biskuit atau cookies adalah nama satu jenis panganan berupa kue kering yang berasal dari benua Eropa/Amerika yang sudah Anda kenal. Karena sejak usia dini orang tua kita sudah memperkenalkan makanan ini sebagai makanan selingan atau tambahan di usia dini. Rasa khas dari biskuit pada umumnya manis dan sedikit gurih. Namun, ada juga beberapa yang bercita rasa rempah.
Biskuit atau cookies, keduanya memiliki sebutan yang berbeda tapi jenis makanannya sama. Biskuit dipopulerkan oleh Inggris ke seluruh dunia melalui negara-negara persemakmurannya. Dan Amerika mempopulerkannya dengan sebutan cookies.
Dengan cepat biskuit menawan selera banyak orang, selain tentunya faktor cita rasa gurih tapi juga praktis yang kian menunjang gaya hidup manusia modern. Rasanya sangat sulit menemukan orang yang tidak pernah mencicipi biskuit.
Hindah Muaris dalam bukunya Healthy Cooking Biskuit Sehat (2007: 3) menjelaskan:
Biskuit merupakan salah satu kue kering yang sangat populer dan digemari . Inti pembuatan kue kering adalah pencampuran antara tepung dan air yang dijadikan adonan, kemudian ditambah dengan bahan yang mengandung lemak agar renyah.
Jumlah dan jenis lemak yang dipakai tergantung pada jenis biskuit atau kue kering yang akan dibuat. Kandungan lemak inilah yang menjadikan biskuit sebagai makanan yang dihindari oleh mereka yang peduli terhadap kesehatan.
Sampai di ujung kutipan ini, kita sudah dapat menebak ke arah mana akhirnya ujung dari pembahasan ini.
Ya, lemak adalah faktor kritis dari produk biskuit.
Berhubung bukan hanya sapi, kerbau atau kambing saja yang punya lemak, semisal babi dan anjing pun punya lemak yang harganya teramat murah.
Dan ternyata, di balik renyahnya biskuit, ada ancaman bahan haram yang mengerikan bagi konsumen muslim. Lemak bukan hanya bermasalah dalam kesehatan, tetapi juga berkaitan dengan komitmen keislaman tatkala lemak itu berasal dari binatang yang diharamkan.
Namun, tantangan ini bukan berarti konsumen muslim menjadi terhalang dari menyantap biskuit, karena selalu ada jalan terbaik dan teraman.
Heny Nuraini dalam buku Memilih & Membuat Jajanan Anak yang Sehat & Halal (2007: 32) mengungkapkan:
Biskuit (di antaranya wafer, cookies, crackers dan lain-lain) juga merupakan makanan jajanan anak yang dengan mudah dapat dijumpai di segala penjuru toko. Apakah biskuit juga perlu mendapat sertifikat halal?
Ya, karena banyak bahan yang perlu diwaspadai dalam pembuatan biskuit, seperti shortening (mentega putih), cream of tartar, penambah rasa (flavor) maupun margarin. Masing-masing bahan mempunyai titik kritis kehalalan yang perlu diwaspadai.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati, saat ini sudah banyak produk biskuit produksi dalam negeri yang berlabel halal, terhadap produk impor tetap saja waspada harus diutamakan.
KOMENTAR ANDA