Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

MENGANGKAT selembar rambut saja akan sulit jika dilakukan oleh seruas jari. Lain ceritanya apabila ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking bersatu padu, banyak yang bisa digenggamnya, bahkan lebih banyak pula yang dapat dipatahkannya.

Sekalipun sama-sama menyandang status atau sebutan jari, tidak satupun di antara jari jemari itu yang serupa. Masing-masing punya ukurannya tersendiri, dengan kelebihan yang berlainan, bahkan juga nama-nama yang berbeda. Keberagaman seperti itu tidak pernah menghalangi kelima jari untuk tetap harmonis, tanpa perlu adanya perselisihan dalam tugas-tugasnya.

Ibu jari tidak perlu minder dengan ukuran fisiknya yang agak jumbo, sebab dirinya punya kelebihan sebagai ibu jari. Kelingking tidak akan minder dengan ukuran yang minimalis, sebab postur mungil membuatnya lebih lincah.

Demikianlah indahnya lima jari yang bersusun rapi di tangan, yang menggambarkan kekompakan, keharmonisan, dan juga keserasian nan anggun. Tidak perlu jauh-jauh mencari mutiara hikmah, cukup dengan memandang susunan jari jemari, kita akan meresapi indahnya persatuan.

Sangat mudah bagi Allah Swt menciptakan manusia seragam saja, tetapi Dia tidak melakukan yang demikian. Karena seragam belum jaminan terjadinya harmoni, namun dengan perbedaan itu Allah Swt menitipkan hikmah agar umat manusia bersatu padu.

Surat Hūd ayat 118, yang artinya, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”

Allah Swt tidak menghendaki penciptaan makhluk berdasarkan satu keseragaman. Allah justru menginginkan dengan keragaman umat-Nya saling mengisi. Jadi sungguh sesuatu yang mengherankan apabila umat manusia malah berselisih pendapat atau bermusuhan karena perbedaan yang sejatinya karunia Ilahi.

Kita bersatu bukan dengan menyeragamkan, tetapi menciptakan harmoni dalam rangkai perbedaan. Bukan hanya berkaitan dengan aspek lahiriah, Allah Swt tidak berkehendak menyeragamkan manusia dalam satu pendapat atau pemikiran. Sebab hal itu justru dapat mematikan potensi kemanusiaan, terutama akal dan hati. Karena persatuan umat itu hendaknya direalisasikan tanpa harus memaksa seluruh manusia untuk memiliki satu pola pikir semata.

Dalam surat al-Syūra ayat 8, yang artinya, “Kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong.”

Demikianlah, dalam cara yang mudah manusia hendaknya lekas terinspirasi dari keharmonisan jari-jemari, karena di sana terdapat keindahan.

John U Wolff dalam bukunya Formal Indonesian (2018: 57) menulis: Mao Tse-tung: Anda harus ingat pemain piano. Semua sepuluh jari harus digunakan untuk mencapai efek yang maksimum. Tetapi ini tak berarti bahwa dalam ketika ia memukulkan jari itu. Seni mainnya justru terletak di sini; bagaimana ia menggunakan jari yang tepat pada saat yang tepat, dalam rangka mengikuti partitur musik!

Ini menarik. Tatkala jari-jemari dilihat sebagai sebuah seni, persatuan para jemari mempunyai unsur keindahan. Sebagaimana jari-jemari yang berbeda, maka ketika kita mampu menghargai perbedaan, maka di sanalah keindahan persatuan dapat dinikmati bersama.

Apabila keluarga mampu menyerap filosofi lima jari, niscaya akan terbangun sebuah rumah tangga yang kokoh. Apabila penduduk suatu negara mengamalkan filosofi lima jari, maka kita akan terhindar dari berbagai pergesekan sosial.

Dan apabila umat Islam mampu menyatukan hati mereka sebagaimana harmoni lima jari, insyallah akan terwujud apa yang dicitakan, yaitu umat terbaik yang menjadi teladan bagi segenap manusia.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur