PEREMPUAN dibekali naluri dan intuisi yang mampu memandunya berjalan dan memilih jalan mana untuk dilalui.
Namun, sungguh lebih bijak bila perempuan juga memiliki ilmu dan wawasan yang dapat menjadi penguat langkahnya untuk meraih tujuan. Karena dengan dasar ilmulah, perempuan akan mampu mengatasi berbagai masalah yang menghadangnya untuk bergerak maju.
Ilmu yang menyempurnakan intuisi, itulah yang harus dimiliki seorang IBU.
Terlebih di zaman modern dengan gegap-gempita teknologi informasi yang makin membuat 'begah', membuat banyak ibu larut dengan euforia yang memenuhi media sosial.
Ibu menuntut anaknya untuk berprestasi untuk bisa 'dipamerkan' dengan dalih untuk menjadi kenangan, bukti autentik, dan menginspirasi anak-anak lain untuk juga mau mengejar mimpi mereka. Mulai dari prestasi akademik, prestasi di lapangan olahraga, hingga prestasi menghafal ayat-ayat Al-Qur'an.
Ibu menuntut anaknya untuk berpakaian setrendi mungkin, menggunakan fashion brand yang banderol harganya hanya bisa dibayar oleh keluarga kalangan menengah ke atas. Menunjukkan kelas, itu sebuah keharusan.
Kasih sayang ibu seolah menjadi terbatas dengan apa yang banyak tersaji di hadapan kita: kue ulang tahun dari bakery ternama dan dekorasi unik sebagai pesta ulang tahun 'sederhana', menikmati floating breaksfast saat liburan ke villa di Bali atau Lombok, foto wajib di depan gerbang Universtal Studio atau Lego Land, juga candid di tanah lapang dengan latar belakang lengkungan Menara Eiffel.
Ya, semua untuk anak!
Betul kiranya, seorang ibu tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Seorang ibu tentu menginginkan anaknya menjadi cerdas dan berprestasi, serta memiliki kehidupan yang lebih baik dari apa yang ibunya jalani dulu.
Tapi, pernahkah kita (baca: ibu) berpikir bahwa apa yang kita berikan kepada anak saat ini tidak menjamin keberhasilan dan keberkahan hidupnya di masa depan?
Sebagai ibu, kita kini mungkin telah teralihkan dari hakikat kepengasuhan anak yang sesungguhnya. Bagaimana kita memupuk nilai sopan santun, tata krama, kesalehan pribadi, keimanan, dan kemandirian anak sebagai bekal baginya beradaptasi dalam berbagai suka duka kehidupan.
Banyak ibu di berbagai pelosok kota atau pedesaan yang tak terlihat perjuangan mereka di media sosial. Mereka mengukir 'prestasi' sendiri, bagaimana bertahan hidup dengan mengerjakan berbagai pekerjaan—yang mungkin tak pernah terlintas di benak kita atau kita pandang sebelah mata—demi agar anak mereka bisa makan.
Tapi mereka tak lupa mengajarkan anak-anak mereka untuk menjadi pribadi yang bersyukur, yang menghargai kerja keras orangtua, yang menikmati indahnya masa kecil dan persahabatan, juga tidak cengeng menghadapi kehidupan yang keras.
Memang betul, setiap ibu mencintai anaknya dengan caranya masing-masing.
Namun kiranya, selalu ada benang merah yang menyatukan segala cara dan segala latar belakang itu: hakikat kepengasuhan anak adalah menciptakan anak yang bahagia, bertumbuh dan berkembang dengan baik, serta memiliki bekal ketangguhan untuk bertahan di masa dewasanya.
Semoga itu kekal dalam diri setiap ibu, tanpa harus ternoda oleh gemerlap 'prestasi' dunia.
KOMENTAR ANDA