ACARA santap siang ceria itu berlangsung dengan suasana diliputi kehangatan. Ibu-ibu pekerja kantoran menikmati bersantap di alam terbuka, di peternakan lele milik seorang sahabat. Baru kali itu mereka menyantap lele bakar ukuran jumbo. Sepertinya hari itu akan menjadi hari yang baik-baik saja.
Ketika mereka berkeliling peternakan, keceriaan beralih jadi kegugupan. Para ibu tersebut menyaksikan pemilik kolam melemparkan bangkai ayam, yang kemudian disantap beramai-ramai oleh gerombolan lele. Ibu-ibu itu jadi berkeringat dingin, sebab mereka paham bahwa bangkai itu tergolong najis.
Tidak hanya itu, para ibu juga melihat pemandangan sekitar. Di atas kolam lele berjejer kandang-kandang ayam. Ya, itu artinya lele-lele itu turut menyantap kotoran unggas-unggas tersebut.
Kian pucat wajah para ibu saat melihat beberapa jamban bambu juga berdiri di atas kolam. Toilet tradisional tersebut biasa digunakan untuk buang air besar para pekerja kolam lele. Dan lagi-lagi, itu pula yang dikonsumsi oleh lele-lele itu.
Dalam Islam, hewan yang mengonsumsi kotoran disebut jallalah. Bagi yang tidak terbiasa, memakan jallalah dapat menyebabkan mual.
Lantas, apakah hewan ternak tersebut halal untuk dikonsumsi?
Erwandi Tarmizi dalam bukunya Harta Haram Muamalat Kontemporer (HHMK) (2018:138) menjelaskan: Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat, hewan jallalah adalah halal, kecuali bila terdapat larangan.
Adapun hadist Nabi Saw yang melarang memakan daging dan air susu jallalah bukan disebabkan daging dan air susu hewan tersebut tercemar najis, tetapi oleh sebab lain, yaitu kaedah perubahan wujud. Maksudnya, suatu wujud barang yang merupakan perubahan dari wujud lainnya, maka yang dilihat adalah wujud baru.
Contoh: hukum asal hewan ternak halal. Hewan yang diberikan makanan berupa kotoran maupun bangkai, kemudian setelah dimakan akan menjadi dagung dan susu, sedangkan daging dan air susu hukumnya halal.
Jadi, yang kita makan bukanlah kotoran yang dikonsumsi hewan ternak. Namun karena telah berproses dan berubah menjadi daging, maka halallah untuk dikonsumsi manusia.
Pendapat kedua, perlu dilakukan karantina terlebih dulu pada hewan ternak yang diberikan pakan kotoran. Karantina dimaksudkan agar hewan ternak itu tidak lagi terkontaminasi pakan kotoran sebelum dikonsumsi manusia.
Erwandi Tarmizi (2018: 140-141) menguraikan: Semua ulama sepakat bahwa hewan jallalah bila dikarantina terlebih dahulu sebelum dikonsumsi atau dijual dan diberikan pakan yang tidak mengandung najis, serta diberi air yang bersih, maka hewan tersebut menjadi halal.
Karantika dilakukan selama 3 hari. Hal ini didasarkan perbuatan Ibnu Umar, di mana bila ia ingin memakan hewan jallalah, beliau mengarantinanya selama 3 hari (Atsar ini diriwayatkan oleh Abdul Razak dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Pendapat lainnya adalah untuk hewan ternak seperti sapi dan unta, dilakukan karantina selama 40 hari. Dalilnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Saw melarang memakan unta jallalah hingga dikarantina terlebih dahulu selama 40 hari.
Pendapat yang terkuat tentang hal ini, tidak ditentukan oleh lamanya waktu karantina. Jika dalam masa karantina bau tidak sedap dari hewan tersebut telah hilang, maka siap untuk dikonsumsi.
Kembali lagi ke kisah pembuka. Rombongan ibu-ibu tersebut cukup lega saat mengetahui pemilik kolam lele tidak menjual hewan ternaknya, kecuali telah dikarantina lebih dari 2 hari.
Si pemilik kolah paham, bahwa ikan-ikan yang hendak dijual dipisahkan dulu pada kolam khusus, lalu dikarantina beberapa hari dengan asupan pakan yang bersih.
KOMENTAR ANDA