MENYANTAP daging berkualitas tinggi, merupakan hal yang patut diapresiasi. Wagyu, salah satunya. Daging sa[I asal Jepang ini menjadi salah satu yang diminati.
Rasa wagyu kian menggugah selera. Bahkan, mendengar namanya saja kita dapat berimajinasi tentang cita rasa berselera, daging nan empuk, dan aroma sedang yang luar biasa.
Tim penulis Adriflo dalam bukunya Dari Hulu ke Hilir dan Info Mancanegara (2012: 60) menulis: wagyu steak, hidangan ini menggunakan daging sapi wagyu asli Jepang. Lemaknya merata ke seluruh bagian daging, sehingga membentuk pola marmer alias marble.
Sebaran lemak inilah yang membuat tektur daging menjadi empuk lembut dan rasanya lebih gurih. Kandungan lemak tak jenuh gandanya lebih tinggi dibandingkan lemak jenuhnya. Asam lemak tak jenuh ini sangat baik untuk kesehatan jantung.
Ada kualitas, ada harga. Wajar bila daging wagyu harganya begitu fantastis. Terlebih jika asli impor dari Jepang, tentunya biaya yang dikeluarkan sangay besar. Inilah harga dari sebuah kualitas.
Dijelaskan M Chairul Arifin pada Buku Kamus dan Rumus Peternakan; Kesehatan Hewan (2018: 275): wagyu mengacu pada beberapa ras sapi. Satu ras di antaranya memiliki kecenderungan geneitik berupa pemarmeran (marbling) tinggi dan memproduksi lemak tak jenuh berminyak dalam jumlah besar.
Sapi wagyu terkenal karena pola marmer pada dagingnya dan kualitasnya. Daging jenis ini umumnya dijual mahal. Di beberapa daerah di Jepang, daging diberi nama berbeda, seperti daging Kobe, Mishima, Matsusaka, Omi, dan Sanda.
Punya kualitas demikian mantap, tidak terlepas dari proses yang membanggakan. Sapi-sapi wagyu dimanjakan, mulai dari pakan hingga pelananannya yang memang jempolan.
Gagas Ulung, dalam buku How To Be a Chef (2013: 41) menjelaskan: seperti ini dilakukan oleh peternak Jepang dalam pemeliharaan sapi wagyu. Daging sapi yang terkenal kelembutannya dan sehat ini dipelihara dengan baik.
Sapi wagyu diberi makan rumput, bukan jerami seperti kebanyakan pakan sapi dan pemijatan secara teratur untuk melemaskan otot-otot mereka, agar kualitas daging yang dihasilkan baik.
Dan konon, saat hendak dipotong, sapi-sapi tersebut diberi minum sake atau bir, agar tileks dan urat-uratnya tidak mengeras. Tidak mengherankan harga daging terbilang paling mahal dibandingkan daging sapi lainnya.
Begitu mentereng pamor wagyu, sampai-sampai pihak di luar Jepang berbuat serupa. Meski tidak sama, tapi sebutannya tetap saja wagyu. Untuk hal ini, diserahkan pada selera masing-masing konsumen.
Sampai di sini, kelihatannya semua baik-baik saja, tidak perlu dicemaskan. Bukankah sapi adalah hewan halal?
Tapi, tidak demikian. Daging wagyu tidak terlepas dari potensi kritis. Sertifikasi halal tetap menjadi solusi nyaman bagi konsumen muslim.
Mengutip laman Halal MUI, walaupun konsumen daging wagyu sangat menikmati setiap rasa dalam berbagai aneka masakan dan hidangan wagyu, tentu ada aspek kehalalan yang perlu ditanyakan.
Wagyu Jepang dan non-Jepang yang dijual dalam bentuk daging, dari sisi titik kritis ketidakhalalan, yaitu dari sisi penyembelihannya, apakah sesuai syariah atau tidak. Sepanjang daging tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Lembaga yang terekognisi, maka dapat digunakan sebagai bahan-bahan untuk menghasilkan produk halal.
Bicara tentang meltic beef, maka titik kritisnya, di samping daging dan lemak sapi yang perlu didukung sertitikat halal, flavor enhancer, asam sitrat dan enzim, serta karagenan perlu dipastikan status kehalalannya.
Kedua jenis daging tersebut, wagyu dan meltic beef, dijual bebas di pusat-pusat perbelanjaan, termasuk toko online. Jadi, jika ingin membeli pastikan keduanya dilengkapi dengan sertifikat halal dari Lembaga yang dapat dipercaya.
Akhirnya, tidak ada hambatan sama sekali bagi konsumen muslim memperoleh daging berkualitas bagus. Namun menyantap makanan apapun bukan sekadar pengisi perut, melainkan ada tanggung jawab keimanan padanya.
KOMENTAR ANDA