GURATAN lelah terbersit jelas di wajah tua perempuan yang tengah terbaring lemah itu. Ya, dia sudah teramat lelah dengan dunia yang begitu lama diperjuangkannya. Pada akhirnya, perempuan tua itu terbaring lemah kehabisan daya.
Mungkin ada benarnya kata orang-orang, bahwa ajal itu ada firasatnya. Kemudian anak-anak pun dipanggil mengelilingi pembaringanranjang. Di antara wasiat yang paling menggetarkan adalah yang berkaitan dengan pelunasan utang-utang.
Mereka dengan mudah berhitung, harta kekayaan masih kalah jauh dengan utang yang rajin digali oleh ibunda. Anak-anak tampak takut jika harus memikul beban utang yang demikian menggunung.
Akhirnya, perempuan itu tidak mampu lagi bertahan lebih lama. Dia meninggalkan dunia dalam status sebagai pengutang yang belum lunas. Anak-anaknya pun gundah, entah bagaimana berhadapan dengan para kreditur yang akan silih berganti datang menagih.
Sungguh memilukan, tidak hanya almarhumah tetapi juga para ahli waris yang menjadi tidak tenang kehidupannya.
Begitulah besarnya hikmah, ketika agama mengingatkan supaya kita berhati-hati dengan utang. Karena, utang orang yang telah meninggal dunia diharapkan mampu untuk dibayar oleh si ahli waris.
Sebagaimana surat an-Nisa ayat 11: “(Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya.”
Suryati dalam bukunya berjudul Hukum Waris Islam (2017: 44) memaparkan: Setelah diambil untuk biaya penyelenggaraan jenazah, harta peninggalan diambil lagi untuk melunasi utang pewaris. Pelunasan utang merupakan tanggungan yang harus dipenuhi bagi orang yang berutang.
Apabila seorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan utang pada orang lain yang belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi terlebih dulu dan diambilkan dari harta peninggalannya, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli waris.
Jika jumlah utang ternyata lebih besar daripada jumlah harta peninggalan, maka pembayarannya dicukupkan dengan harta peninggalan yang ada. Apabila dalam hal yang terakhir ini pihak kreditur lebih dari satu orang, kepada masing-masing kreditur hanya dibayarkan sesuai dengan perbandingan besar kecil utangnya.
Ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup kekurangannya dari harta sendiri. Apabila ahli waris menyanggupi untuk menutup kekurangannya, hal itu dipandang sebagai kebaikan ahli waris, bukan kewajiban hukum.
Akhirnya, para ahli waris dapatlah bernapas lega, sebab mereka tidak dibebani kewajiban hukum sekiranya harta warisan tidak mencukupi dalam melunasi utang almarhumah/almarhum. Namun, sekiranya keluarga punya kelapangan rezeki, maka menjadi suatu kemuliaan bagi mereka bila berkenan menutupi kekurangan utang tersebut. Yang demikian akan membuat almarhumah/almarhum benar-benar tenang di alam sana.
Begitu pentingnya pembayaran utang, sehingga ahli waris diharapkan tidak membagi-bagikan dulu harta warisan sebelum utang terbayarkan. Utang tetaplah utang, dan jangan pernah diabaikan.
Indonesia mengakomodir dengan baik hukum-hukum Islam, termasuk dalam urusan utang dan warisan pun ada aturannya. Utang almarhum atau almarhumah hendaknya tidak menyusahkan keluarga yang ditinggalkan. Sehingga dikenal suatu istilah menerima warisan secara beneficiaire.
PNH Simanjuntak dalam buku Hukum Perdata Indonesia (2015: 226) menguraikan: Dengan demikian menurut Pasal 1032 KUH Per, akibat jika menerima warisan secara beneficiaire adalah:
a) Ahli waris tidak wajib membayar utang-utang dan beban-beban warisan yang melebihi jumlah warisan yang diterimanya.
b) Ia dapat membebaskan dirinya dari pembayaran utang pewaris dengan menyerahkan warisan kepada para kreditur.
c) Tidak terjadi percampuran antara harta warisan dengan kekayaan pribadi ahli waris, dan ia tetap dapat menagih piutangnya sendiri dari harta peninggalan. Jadi, apabila utang si pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada sisa dari harta peninggalan, maka sisa itulah yang merupakan bagian ahli waris.
Hanya saja, meski selamat secara hukum dunia akan tetapi secara moral masih memikul beban berat. Sebab, bisa jadi nanti para kreditur menagihnya di akhirat.
Dari itu, sebisanya hindarilah berutang! Setidaknya berutanglah untuk hal-hal penting dan dengan terlebih dulu mengukur kemampuan melunasinya.
KOMENTAR ANDA