Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

JAGAT maya belakangan ini dihebohkan dengan kisah viral seorang anak yang dikhianati oleh suami dan ibu kandungnya. Mendengar itu, seperti kita kehabisan kata-kata untuk melukiskan kepiluannya. Tidak salah jika kemudian pepatah mengatakan: sudah mendapat padang rumput segar, masih saja menginginkan padang yang gersang. Ya, begitulah tabiat gelap manusia yang tidak pernah puas.

Tidak hanya menjadikannya suatu pelajaran, kejadian tersebut hendaknya membuka mata manusia, godaan setan tidak ternalar. Hasutan setan cepat sekali membuat manusia gelap mata. Yang jelas-jelas terlarang, malah terlihat menawan. Yang diharamkan, malah dikejar. Astagfirullah, ampuni kami, ya Allah!

Hukum Islam sangat tegas, kedudukan ibu mertua adalah mahram (orang-orang yang haram dinikahi). Sebagaimana dijelaskan oleh Holilur Rohman dalam buku Hukum Perkawinan Islam Menurut Empat Mazhab Disertai Aturan yang Berlaku di Indonesia (2021: 119).

“Berkaitan dengan mahram sebab pernikahan, juga dijelaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 39 ayat (2), yaitu: dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. Secara Bahasa, ibu dari istri adalah ibu mertua. Larangan ini juga berlaku bagi ibu dari dari ibu mertua, yaitu nenek dari istri, nenek istri dari ayah, dan terus ke atas.

Baik itu ibu mertua, nenek (ibu dari ibu mertua), nenek istri dari ayah dan seterusnya adalah mahram, secara tegas terlarang untuk dinikahi. Aturan ini rasanya dan mestinya sudah diketahui dengan sangat baik oleh kaum muslimin.

Betapa Islam sangat memelihara aspek psikologis dalam pernikahan, karena rumah tangga sakinah merupakan benteng pertahanan bagi suatu umat. Hal ini di antaranya tercermin dalam syarat berpoligami.

Dan bagi yang hendak berpoligami (jika sudah memenuhi syarat) pahami dulu ketentuan agama, bahwa dilarang memadu dua perempuan yang bersaudara.”

Nasaruddin Umar pada bukunya Ketika Fikih Membela Perempuan (2014: 133) mengungkapkan: “Wahbah Al-Zuhaili misalnya, ia banyak mengutip pendapat Imam Malik yang cenderung memberikan persyaratan ketat pada praktik poligami, dengan menonjolkan beberapa larangan dalam poligami antara lain: larangan mengumpulkan sesama anggota keluarga dekat seperti mengawini dua orang bersaudara, baik saudara kandung, saudara seibu, saudara sebapak ataupun saudara sesusuan, dan mengumpulkan seseorang perempuan dengan tantenya.

Kenapa? Ada hikmahnya, di antaranya memelihara aspek psikologis. Jangan sampai pernikahan poligami malah merusak hubungan dua bersaudara.

Demikianlah, hukum Islam itu tegak di atas kearifan, memelihara faktor kejiwaan manusia, karena aspek yang penting pada diri manusia adalah membangun jiwanya, kemudian barulah membangun badannya.

Sudah menghancurkan hati pasangan, menyakiti nurani masyarakat, pelaku juga merusak tatanan hukum agama. Inilah kehancuran yang membinasakan berbagai pihak. Belum lagi dosa-dosa besar yang ditimbulkannya, yang entah bagaimana cara pelaku itu memikulnya.

Meskipun menjijikkan, kejadian ini hendaknya menyadarkan kita semua, bahwa memang ada titk kritis dalam relasi menantu mertua. Sebelum perbuatan itu terjadi, hendaknya perlu memperkokoh pagar-pagar preventif, karena mencegah lebih baik daripada mengobati.

Ada pihak menyebut, masyarakat Nusantara sebetulnya sudah ber-Islam, bahkan sebelum agama Islam itu datang atau didakwahkan. Penduduk Nusantara langsung berbondong-bondong menjadi muslim, disebabkan ajaran Islam itu sudah sesuai dengan karakter bangsa ini.

Dari itulah, kita dapat menyaksikan betapa hukum Islam senada seirama dengan kebudayaan setempat.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur