“KAMU kan anak laki-laki. Jangan menangis, dong!” Seringkali kalimat ini disampaikan orangtua ketika melihat anak laki-lakinya menangis. Anak laki-laki diminta untuk tidak menangis, karena menangis menunjukkan kelemahan.
Alih-alih dapat memberikan dukungan atau energi positif, justru bisa berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan kesehatan mental anak laki-laki.
Itulah yang disebut dengan toxic masculinity, yaitu suatu tekanan budaya bagi anak laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nila-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang anak laki-laki.
Intinya, sebagai seorang anak laki-laki, harus bisa menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
Mengapa toxic masculinity berbahaya?
Maskulinitas beracun (toxic masculinity) dapat berbahaya karena membatasi definisi sifat seorang anak laki-laki dan mengekang pertumbuhannya dalam masyarakat. Pembatasan ini dapat menimbulkan konflik dalam dirinya dan lingkungan.
Bahaya lain dari maskulinitas beracun ini adalah:
- Memberikan beban kepada anak laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar toxic masculinity.
- Anak laki-laki akan merasa hanya bisa diterima masyarakat dan lingkungannya jika menunjukkan perilaku ‘beracunnya’. Misalkan, tidak menunjukkan kesedihan atau menangis.
- Berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik anak laki-laki. Menahan emosi menimbulkan kerentanan untuk mengalami depresi. Ditambah, mencari pertolongan ahli kejiwaan dianggap karakteristik feminin. Itulah mengapa, lakii-laki jarang menemui psikolog atau psikiater.
Memicu tindak kekerasan
Toxic masculinity ternyata tidak hanya berbahaya bagi kesehatan mental anak laki-laki, tapi juga bagi pasangan. Kelak ketika anak tersebut dewasa, ia menjadi mudah berperilaku kasar dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Tidak hanya itu, anak juga mudah melakukan perundungan, kekerasan seksual, penyalahgunaan obat-obatan, bunuh diri, trauma prikologis, dan kurangnya persahabatan yang tulus.
Menghentikan siklus toxic masculinity
Salah satu cara untuk menghentikan siklus ini adalah mengajarkan anak laki-laki sejak dini beberapa hal berikut:
- Sampaikan bahwa anak laki-laki juga boleh menangis dan mencurahkan apa yang dirasakan.
- Hindari ujaran yang merendahkan, seperti: “Kamu berbicara seperti perempuan” atau “Jangan berjalan seperti perempuan, ya!”
- Ajari konsep konseksual sejak dini. Misalnya, sampaikan bahwa setiap orang memiliki Batasan yang tidak bisa sembarangan dilewati.
- Ajarkan pula bahwa tubuh setiap orang adalah milik pribadi orang tersebut, jadi tidak bisa sembarangan menyentuh atau memeluk tanpa izin.
Berhati-hatilah dalam memberikan media hiburan pada anak. Jika Ayah atau Bunda mendeteksi adanya elemen toxic masculinity pada film atau buku bacaannya, lakukan intervensi dan katakana bahwa elemen tersebut tidak patut dicontoh.
KOMENTAR ANDA