Sungguh suatu hal yang terlalu, ketika berutang menjadi hal yang mudah dilakukan, apalagi oleh anak muda. Suatu kemudahan yang sulit dibayangkan oleh umat manusia beberapa dekade terdahulu.
Dulunya, utang dipandang suatu aib, sesuatu yang tidak membanggakan. Tambah malu jadinya jika terjerat utang, sebab apabila tidak punya kuasa melunasinya, seperti hidup tanpa harga diri.
Dewasa ini, nilai-nilai tersebut sudah dibuat jungkir balik. Berbagai iklan berseliweran menjajakan pinjaman uang dengan cara terlalu mudah. Bahkan beberapa mengaku kaget saat mengetahui rekeningnya sudah terisi uang, entar dari mana asalnya.
Awalnya memang sangat menyenangkan, ibarat mendapat durian runtuh. Namun saat ada yang datang menagih, barulah kalang kabut, menyebut tidak pernah mengetahuinya.
Iklan-iklan yang mendorong lekas berutang pun tega sekali menampilkan anak-anak muda. Dari dialog mereka tergambar, seolah berutang sesuatu yang mudah. Apakah para pengiklan sudah mencermati anak-anak muda, terlebih lagi remaja yang belum berpenghasilan tetap?
Lalu, bagaimana cara mereka melunasi utang berbunga itu? Bahkan tanpa izin orang tua, anak-anak muda berutang dengan ringan tangan. Mereka tidak tahu, bahwa utang itu haruslah dilunasi.
Anak-anak yang masih lugu itu belum paham dunia utang penuh intrik; ada bunga yang luar biasa berat, ada yang tanpa bunga tetapi pinaltinya bikin sengsara. Kemudian utangnya malah berlipatganda secara ajaib.
Jiwa mereka yang labil, kemudian tertekan lantaran seluruh kontak di ponselnya dihubungi debt collector. Si anak muda dipermalukan di depan public, sebagai pengutang. Dan pada usia demikian muda, mereka tak jarang berhadapan head to head dengan keberingasan penagih utang.
Sebagaimana disebut oleh Miftahur Rahman dalam bukunya Beginilah Nabi Berbisnis, siapa pun yang sudah terjerat utang dengannya, dipastikan hidupnya akan menderita. Tak hanya menderita, mereka pada akhirnya hanya akan menjadi budaknya. Kemerdekaan mereka terenggut dan terampas begitu saja dengan mudahnya.
Memang, tidak ada cerita manis dari seorang yang berutang. Dan menjadi miris tatkala kemalangan bahkan kenestapaan itu menimpa anak-anak muda kita. Kecil-kecil sudah terjerat utang, alangkah tidak sedap jika ada yang mengatakannya.
Orang dewasa saja yang terjerat utang seringkali lepas kendali, bahkan mengalami gangguan psikologis. Bagaimana dengan mereka? Sungguh menyeramkan!
Mendapatkan sesuatu dengan mudah, akan mudah pula menghabiskannya. Tetapi utang adalah uang panas. Mungkin dengan uang itu mereka bisa menikmati berbagai kesenangan, tetapi setelahnya yang dirasakan hanyalah kenestapaan. Mana ada utang bisa mendatangkan kebahagiaan.
Kuncinya adalah edukasi. Ya, jangan biarkan anak-anak kita terjerumus dalam pandangan seolah utang suatu life style.
Sebagai penutup, ada baiknya direnungkan kisah berikut ini. Khalid ibn Sulaiman ar-Rabi’i dalam buku Keajaiban Doa (2006: 35) menceritakan: Jabir berkata, “Sesugguhnya ayahku meninggalkan utang, sementara kami tidak memiliki apa-apa selain hasil dari pohon kurma peninggalannya.”
Mendengar ucapanku itu, beliau pun mengajakku agar tidak dipermalukan oleh orang yang memberikan pinjaman. Ternyata beliau mengajakku berjalan menuju tempat penyimpanan hasil kurma ayahku dan kemudian berdoa.
Setelah itu, beliau duduk di atasnya sambil melunasi utang-utang itu kepada orang yang bersangkutan. Aku melihat kurma-kurma itu sedikit pun tidak berkurang dari jumlah semula.
Dan dengan berkat doa beliau serta izin Allah Swt, panen buah kurma itu mencukupi untuk melunasi utang. Bahkan, setelahnya pohon-pohon kurma itu kembali berbuah.
Keajaiban macam ini hanya terjadi di masa Rasulullah, karena hanya Nabi yang memiliki mukjizat. Kita yang boleh jadi sedang terjerat utang, tidak akan memperoleh keajaiban seperti Jabir.
Akan tetapi, kita dapat memetik hikmahnya dari kisah ini, yakni jangan sampai mempermalukan diri sendiri hanya disebabkan utang. Terlebih bila masih muda belia. Kisah Rasulullah ini layak diserap saripatinya oleh anak-anak muda.
KOMENTAR ANDA