DALAM beberapa hari ke depan, China akan membuka perbatasan yang selama tiga tahun terakhir ini ditutup rapat dari masyarakat global.
Tak ayal, banyak pemerintah negara di dunia yang memberlakukan pembatasan bagi warga China yang melancong ke negara mereka, di tengah kondisi melonjaknya angka COVID-19 di sana.
Mulai 8 Januari, China akan mencabut persyaratan karantina bagi pelancong yang datang, hal yang bertolak belakang dari kebijakan Zero COVID yang ditentang masyarakat China bahkan memicu protes bersejarah terhadap serangkaian lockdown massal yang 'mencekik' kehidupan masyarakat.
Tetapi perubahan mendadak itu telah membuat banyak dari 1,4 miliar penduduk China terkena virus untuk pertama kalinya, memicu gelombang infeksi yang membanjiri beberapa rumah sakit, mengosongkan rak obat farmasi, hingga menyebabkan kekhawatiran internasional.
Yunani, Jerman, dan Swedia pada hari Kamis (5/1/2023) bergabung dengan lebih dari selusin negara untuk menuntut tes COVID dari para pelancong China, karena WHO mengatakan data virus resmi China tidak melaporkan sejauh mana sebenarnya wabahnya.
Pejabat China dan media pemerintah telah mengeluarkan pembelaan terkait penanganan wabah, mengklaim bahwa angka COVID-19 tidak banyak, dan mengecam perlakuan negara-negara lain terhadap warga mereka yang bepergian ke luar negeri.
Global Times, media yang dikelola pemerintah China menurunkan tajuk rencana, "Tidak peduli bagaimana China memutuskan untuk menangani epidemi COVID-19, beberapa media Barat dan beberapa politikus Barat tidak akan pernah puas."
Industri penerbangan, yang terpukul oleh pembatasan pandemi selama bertahun-tahun, juga mengkritik keputusan untuk memberlakukan pengujian pada pelancong dari China.
China masih akan mewajibkan pengujian pra-keberangkatan untuk wisatawan yang datang setelah 8 Januari.
Beberapa warga China menganggap pembukaan kembali terlalu terburu-buru.
"Mereka seharusnya mengambil serangkaian tindakan sebelum membuka, seperti memberi tahu tindakan pencegahan apa yang harus dilakukan orang pada usia tertentu, dan paling tidak memastikan bahwa apotek memiliki persediaan yang cukup," ungkap seorang warga Shanghai berusia 70 tahun.
"Dengan tidak melakukan ini, semuanya menjadi sangat berantakan."
China melaporkan lima kematian baru akibat COVID pada Kamis (5/1/2023), menjadikan jumlah kematian resmi akibat virus menjadi 5.264 orang, salah satu yang terendah di dunia.
Namun data itu bertentangan dengan situasi di lapangan di mana rumah duka dan krematorium kewalahan, dan beberapa rumah sakit penuh sesak dengan pasien lanjut usia yang memakai respirator.
Pakar kesehatan internasional percaya definisi terbatas Beijing untuk kematian akibat COVID tidak mencerminkan jumlah sebenarnya yang dapat meningkat menjadi lebih dari satu juta kematian tahun ini, seperti dilaporkan Reuters (6/1/2023).
KOMENTAR ANDA