KEJUTANNYA, mendadak saja anak-anak mulai meninggalkan game online. Biasanya, hanya amarah sang ayah yang bisa menghentikan mereka dari gadget. Kini, tanpa keberadaan ayahanda pun bocah-bocah sudah beralih perhatian.
Klok! Klok! Klok!
Dua putranya asyik dengan mainan lato-lato, dua bola bundar yang terus beradu, hingga menciptakan suara-suara yang menggetarkan. Sang ibu senang bukan kepalang, anak-anaknya terhindar dari kecanduan gadget. Ia berpendapat, permainan lato-lato lebih berguna bagi kecakapan anak, daripada mereka kecanduan game online.
Tapi perlahan kesenangan itu berbuah masalah, tatkala pihak sekolah bertindak tegas. Lato-lato milik siswa disita guru, alasannya mengganggu proses belajar mengajar.
Anak-anak itu pulang dengan perasaan remuk. Rona wajah mereka langsung berubah cerah, karena sang bunda dengan mudah mengganti lato-lato baru. Maklum, harganya kan sangat terjangkau.
Klok! Klok! Klok! Blarr!
Lato-lato pun pecah dan kepingannya bertebaran. Ada gores-gores luka berbekas di wajah mereka, syukurnya tidak mengenai mata. Tapi, Bunda bergegas mengharamkan mainan itu.
Kemudian sang ayahanda pulang dari dinas luar daerah. Sang bunda lemas melihat hadiah yang dibawakan.
Klok! Klok! Klok!
Bagi sebagian pihak, aneka macam permainan dipandang sebagai hal yang sia-sia. Sementara bagi pihak lain, justru ada manfaat atau daya gunanya. Bahkan ada yang berpendapat, dari permainan itu anak-anak mendapatkan edukasi.
Pertanyaan yang sering terbersit bagi kaum muslimin, bagaimana Islam memandang berbagai jenis permainan yang silih berganti musimnya?
Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer 2 (1995: 663) ditulis: Tidak diragukan lagi, bahwa kesibukan orang muslim dengan kebenaran dan perkara-perkara bermanfaat adalah lebih utama dan lebih banyak, karena Allah telah menyifati orang-orang mukmin dengan firman-Nya, yaitu surat Al-Mu’minun: 3, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”
Namun demikian, tidak berarti bahwa hiburan atau permainan selain tiga perkara tersebut (memanah, melatih kuda, dan bercumbu dengan istri) terhukum haram. Karena orang-orang Habasyah juga pernah bermain dan menari di masjid Nabi saw pada hari raya.
Sedangkan Nabi Saw sendiri menyaksikannya dan memberi semangat kepada mereka, bahkan Aisyah juga ikut bersama beliau menyaksikan permainan mereka. Beliau juga menganjurkan hiburan pada acara perkawinan, untuk menyemarakkan dan mengembirakan, agar perkawinan itu tidak terkesan diam-diam.
Beliau bermain gulat dan lomba lari, seperti lomba lari dengan Aisyah, dan beliau mengadakan pacuan kuda serta memberi hadiah kepada pemenangnya.
Pada salah satu riwayat yang populer, orang-orang Habasyah pernah mementaskan permainan di halaman masjid. Banyak orang yang menyaksikan, termasuk Rasulullah dan istrinya menonton dari jendela rumah.
Beliau juga menggelar berbagai permainan ketangkasa, semacam pacuan kuda atau gulat atau lomba lari, bahkan disediakan pula hadiah bagi pemenangnya. Dalam Riwayat lainnya, Aisyah pernah memiliki boneka kesayangan.
Semakin modern, kian canggih model permainan. Tetapi perubahan model mainan itu tidak perlu membuat bingung. Selama kaum muslimin memahami aturan-aturannya, insyaallah kita akan terjaga dari dampak negatifnya.
Pada prinsipnya, terkait dengan apapun jenis permainannya, ada arahan yang patut diperhatikan. Sebagaimana yang diterangkan oleh Yusuf Al-Qaradhawi (1995: 670):
1. Permainan tersebut tidak disertai dengan perjudian (taruhan). Jika disertai dengan taruhan, maka hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar menurut kesepakatan para ulama.
2. Tidak sampai melalaikannya dari mengingat Allah dan mengerjakan shalat, atau melalaikannya dari kewajiban manapun, baik kewajiban diniyah maupun duniawi.
3. Dihindarkan dari perkataan dan pembicaraan yang jelek dan banyak sumpah, yang sering terjadi di antara para pemain.
4. Jangan bermain di jalan, karena dapat merusak martabat dan harga diri.
KOMENTAR ANDA