CUKUP keren sebetulnya latar belakang nugget, karena merupakan jenis makanan yang ditemukan berkat sebuah karya ilmiah dari seorang ahli ilmu pangan. Hebatnya lagi, si penemu sama sekali dia tidak menuntut hak paten. sehingga penyebarannya sangat cepat, hingga ke Nusantara.
Bambang Mulyadi dalam bukunya Nugget Is a Big Market (2019: 2) menceritakan, Nugget ayam pertama kali diciptakan pada 1950 oleh Robert C Baker, seorang professor ilmu pangan di Cornell University. Konsep inovasinya tersebut diterbitkan sebagai karya akademis unpatented. Inovasi Dr Baker ini memungkinkan produsen membentuk nugget ayam dalam kondisi apapun.
Di Indonesia, nugget dipasarkan 1997. Sisi kepraktisan nugget begitu cepat digemari, tinggal mbil nugget dari kulkas, panaskan minyak goreng di wajan, lalu mulai dimasak. Tidak lama menunggu, nuggetpun matang, siap disantap sekeluarga.
Nugget benar-benar memanjakan manusia modern yang membutuhkan kepraktisan. Terlebih saat ini kreasi nagget juga sudah banyak, mulai dari nugget ayam, ikan, sapi dan sebagainya.
Shanty Wisuda Sidauruk, dkk dalam bukunya Pengolahan Nugget Ikan Patin dalam Upaya Pencegahan Stunting (2021: 10) memaparkan, nugget adalah hasil olahan daging giling yang ditambah dengan bumbu-bumbu, yang kemudian dicetak dan dilumuri tepung panir atau tepung roti pada bagian luar permukaannya, yang kemudian digoreng.
Nugget adalah salah satu olahan makanan beku siap saji yang telah melewati pemanasan setengah matang, lalu dibekukan. Nugget disebut juga daging yang direstrukturisasi.
Kendati praktis, berbagai pandangan miring juga ditujukan pada nugget. Seperti, nugget yang komposisi dagingnya sangat sedikit, lebih banyak tepungnya. Nugget juga kaya MSG dan mengandung bahan pengawet.
Begitu pula soal kehalalan. Nugget cukup rentan, mengingat sebagai bahan olahan pastinya telah dicampur berbagai bahan pendukung.
Sebagaimana dijelaskan pada laman mui.or.id, hampir semua produsen nugget, terutama dalam industri skala besar, menggunakan daging mechanically deboning meat (MDM). Produk daging ini dihasilkan dengan memaksa daging yang dihaluskan atau digiling di bawah tekanan tinggi secara mekanik untuk memisahkan tulang dari jaringan daging yang dapat dimakan, seperti tulang rawan, sumsum, kulit, saraf, pembuluh darah, dan sisa daging yang menempel pada tulang.
Meski dibanderol dengan harga yang lebih murah, MDM memiliki protein dan sifat-sifat daging yang bisa dimanfaatkan untuk produk olahan. Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan nomor SNI 6683:2014 pun sudah menyatakan bahwa MDM dapat digunakan sebagai bahan pembuat nugget.
Yang menjadi masalah, MDM biasanya dikumpulkan dari berbagai rumah potong hewan (RPH), yang belum tentu tersertifikasi halal. Apalagi jika bahan MDM dikumpulkan dari RPH di negara dengan mayoritas penduduk nonmuslim.
Ini menjadi persoalan serius, ketika produsen menambahkan beberapa bahan, contohnya susu dan keju. Kedua bahan ini mempunyai titik haram yang cukup kritis.
Susu, misalnya, perlu dicermati karena yang beredar di pasaran saat ini kebanyakanadalah dalam bentuk olahan. Artinya, susu tersebut sudah mengalami proses pengolahan yang melibatkan bahan tambahan dan bahan penolong proses. Bahan tambahan dan penolong ini harus diperhatikan kehalalannya.
Sementara keju, berasal dari susu sapi, domba, kambing, atau unta. Kemudian dibutuhkan mikroorganisme (seperti: enzim rennet, pepsin, renin, renilasi) dalam proses penggumpalan.
Enzim rennet yang dipakai bisa berasal dari proses mikrobial atau lambung anak sapi. Jika berasal dari proses mikrobial, maka harus dipastikan media yang dipakai untuk pertumbuhan mikrobanya tidak mengandung bahan yang diharamkan. Sementara jika berasal dari lambung anak sapi, cara penyembelihan menjadi penentu kehalalannya.
Titik kritis pada nagget bukanlah menjadi penghalang bagi kosumen muslim menikmatinya. Hal-hal kritis itu dapat diselesaikan dengan kehati-hatian, yang berpijak dari keimanan.
KOMENTAR ANDA