Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KETIDAKSEMPURNAAN adalah kata yang cukup menggentarkan hati sebagian orang. Seperti hanya memiliki satu tangan, lidah yang kelu, mata yang tidak dapat melihat, dan sebagainya, dipandang sebagai sebuah keburukan.

Kebanyakan manusia lebih terfokus pada aspek ketidaksempurnaan fisik. Padahal, belum tentu juga itu sebagai suatu kekurangan, apalagi keburukan. Karena justru yang paling parah adalah kejelekan hati.

Apa ruginya bagi kita jika ada orang buta, bisu, tuli dan sebagainya, yang tidak merasa terhambat dengan keterbatasan itu. Sementara kejelekan hati menebar marabahaya yang lebih dahsyat. Jati diri kita sebagai manusia tidak akan sempurna apabila mengalaminya.

Kejelakan hati atau cacat hati adalah Ammarah Bissu’ atau nafsu yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan buruk. Apabila Ammarah Bissu’ itu sudah bersemayam, maka ketika itulah diri mengalami cacat hati.

Sangat berbahaya bila kita mengalaminya, sebab hati adalah hulu dari tindak-tanduk manusia. Inilah cacat yang bukan saja merugikan pengidapnya, tetapi juga merusak lingkungan.

Begitu besarnya bahaya cacat hati, sayangnya sedikit sekali manusia yang menyadarinya. Ketika menyadari saja tidak mau, bagaimana bisa mengatasinya?

Sebetulnya, tidak terlalu buruk mengakui diri sedang menderita cacat hati, sebab Ammarah Bissu’ dapat diatasi, bahkan disembuhkan.

Muḥammad ibn Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jawziyah dalam bukunya Penawar Hati yang Sakit (2003: 182) menulis, Memikirkan tentang cacat-cacat (kekurangan dan kelemahan) jiwa, penyakit yang dideritanya, juga kekurangan amalnya.

Berpikir dalam hal ini besar sekali manfaatnya. Ia mampu memecahkan jiwa yang selalu memerintahkan kepada keburukan (Ammarah Bissu’). Jika jiwa ini sudah pecah, maka jiwa yang Muthmainnah akan hidup dan bersemangat. Untuk selanjutnya jiwa inilah yang memegang kendali.

Jadi, berpikirlah kepada cacat hati yang dialami, cermati mengapa berbagai keburukan dapat bersemayam. Itulah Ammarah Bissu’ yang tidak perlu malu diakui, tetapi di atasi dengan sepenuh hati.

Hamka pada Tafsir al-Azhar Jilid 5 (2020: 69) menjelaskan, Ammarah Bissu' yang selalu menyuruh dan mendorong agar berbuat kejahatan, karena nafsu yang demikian yang dapat ditunggangi oleh setan. Tetapi, apabila telah berlanjut timbullah Nafsul Lawwamah, yaitu tekanan batin dan penyesalan karena telah terlanjur melakukan.

Kelak, karena pengalaman-pengalaman diri, karena memperturutkan an-Nafsul Ammarah Bissu', yang menimbulkan sesal. Bagi orang yang mengambil pengalaman dari beberapa kegagalan, dapatlah dia mencapai an-Nafsul Muthmainnah, yaitu nafsu yang telah mencapai ketenteramannya, setelah menempuh berbagai pengalaman.

Di sinilah perlunya iman dan zikir, sehingga berpadulah kehendak hati sanubari yang bersih dengan dorongan nafsu, guna mencapai rida Allah Swt dengan ketenteraman itu.

Jangan pernah memandang rendah kepada mereka yang mengalami cacat fisik. Mereka yang buta boleh jadi terang-benderang hatinya. Mereka yang tuli sangat mungkin lebih peka nuraninya. Mereka yang bisu bisa saja lebih banyak menyuarakan kebaikan melalui keteladanan sikapnya.

Jika demikian perspektif yang kita bangun, insyaallah tidak akan ada lagi pandangan remeh terhadap mereka yang punya kekurangan anggota tubuhnya. Justru kita akan lebih sibuk menilai cacat hati sendiri, supaya dapat menyembuhkannya dengan kembali pada hati yang tenang (Muthmainnah).




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur