JAUH sekali perempuan itu datang. Bukan sekadar menyambangi adik tercinta, tetapi untuk sebuah misi mulia pada aspek kesehatan. Dia hendak membeli daging kuda, yang dipercaya cukup manjur meringankan penyakit suaminya.
Dulu, sang adik pernah mengirim paket daging kuda yang sudah dikeringkan, dan terasa dampak positifnya bagi kesehatan suami. Kini, wanita itu datang langsung dalam rangka memborong lebih banyak daging kuda. Untuk sementara, misi ini mudah sekali.
Pagi-pagi, dinaikinya bendi (sejenis andong) menuju pasar. Di los daging, sudah banyak pedagang yang menyajikan daging-daging segar. Wanita itu pun bertanya, “Ada jual daging kuda?”
“Tidak!” jawab penjual acuh tak acuh.
Wanita itu beralih lagi ke pedagang lainnya, dan bertanya, “Ada jual daging kuda, Pak?”
“Tidak,” sahutnya singkat, lalu memalingkan muka.
Nyaris semua pedagang mengaku tidak menjual daging kuda.
Sesampainya di rumah, ia berpikir kembali, betulkah yang kemarin diberikan adalah daging kuda?
Cerita tentang pengalaman itu hanya membuat si adik tertawa. Katanya, “Kalau ditanya, ya tidak akan ada yang mau mengaku!”
Kali kedua datang ke pasar, sang adik berkenan mendampingi. Dia langsung saja mendekati salah seorang pedagang dan berkata, “Tolong daging kuda lima kilogram ya.”
Langsung saja si pedagang mengambil bongkahan daging dan menyayatnya dan membungkus dengan rapi. Tidak ada tawar menawar layaknya seperti membeli daging sapi, karena daging kuda dibeli dalam bisik-bisik serta proses jual beli yang cepat.
Setibanya di rumah, sang adik membuka rahasia. Sebetulnya, tidak ada daging sapi murni di daerahnya. Setiap pembelian daging sapi sudah dicampur dengan daging kuda secara diam-diam oleh pedagang. Terkecuali, pembeli memesan daging sapi murni, tetapi harganya menjadi lebih mahal.
Wanita itu merapikan jilbabnya. Kecemasan mulai merona di raut wajahnya. Mengapa pula penjualan daging kuda seperti suatu misteri? “Jangan-jangan, daging kuda itu haram, ya?” ujarnya bergetar.
Halal atau haramnya daging kuda adalah wajar dipertanyakan oleh konsumen muslim. Berhubung daging kuda bukan produk olahan, mestinya lebih mudah menemukan hukumnya. Akan tetapi, daging kuda bukan pula bahan yang lazim dikonsumsi, sehingga simpang-siur informasi cukup mencemaskan berbagai pihak.
Ahmad Sarwat dalam buku Halal atau Haram? Kejelasan Menuju Keberkahan (2014: 174) menjelaskan, Di beberapa tempat, misalnya Makassar, ada hidangan daging kuda. Namun, sebagian orang masih merasa risih makan daging kuda, karena kuda umumnya bukan untuk dimakan melainkan untuk ditunggangi, menjadi alat transportasi.
Lalu bagaimana hukum makan daging kuda, halal atau haram?
Mayoritas ulama dari mazhab Asy-Syafiiyah, Al-Hanabilah dan sebuah qaul yang kuat (rajih) dari mazhab Al-Malikiyah bersepakat, daging kuda halal dimakan, dagingnya boleh disembelih, baik kuda Arab (‘irab) atau bukan Arab (baradzin). Faktor risih yang membuat orang-orang sulit menjadikan daging kuda sebagai menu santapan.
Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i dalam bukunya Fikih Jumhur #1 Masalah-Masalah Fikih yang Disepakati Mayoritas Ulama (2020: 532) menjelaskan: Kebanyakan ulama berpendapat boleh makan daging kuda tanpa kemakruhan. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’I, dan ini adalah pendapat Ibnu Zubair, Fadhalah bin Ubaid, Anas bin Malik, Asma binti Abu Bakar, Suwaid bin Ghaflah, Alqamah bin Al-Aswad, Atha, Syuraih, Said bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, dan Dawud.
Sedangkan sebagian ulama lain memakruhkannya. Di antara mereka, yaitu Ibnu Abbas, Al-Hakam, Malik, dan Imam Abu Hanifah.
Pada saat Jabir bin Abdillah menyampaikannya dari Rasul, “Bahwa beliau menghalalkan daging kuda untuk dikonsumsi, di mana beliau melarang makan daging keledai jinak, maka hal tersebut menujukan perbedaan hukum mengenai keduanya.
Berdasarkan kisah di atas, dapat disimpulkan, bagi kaum muslimin cukup dipahami, daging kuda itu boleh atau halal dimakan. Sekalipun ada yang memakruhkannya, itu tidak terlepas disebabkan pengharaman keledai jinak.
Namun, pada dasarnya halal-halal saja, sebagaimana Rasulullah membolehkan sahabatnya makan daging kuda. Yang namanya selera, boleh saja. Tetapi bukan berarti mengecam pihak-pihak yang menyukainya, baik itu sebagai alasan kesehatan atau opsi kulineran belaka.
KOMENTAR ANDA