BINGUNG. Itulah yang kini melanda anak perempuan tersebut yang sudah bertekad melangkah ke pelaminan. Calon suami berkualitas jempolan sudah tersedia. Ayahanda juga sudah mendukung dan menyukseskan pernikahan sebagai wali nikah.
Sayangnya, sang ibu tidak setuju dengan calon suami putrinya. Sekalipun orangtua sudah bercerai, gadis itu tetap membicarakan baik-baik perihal rencana pernikahan. Namun, meluluhkan hati sang ibu tampaknya masih jauh panggang dari api.
Sekilas, keruwetan ini mudah diatasi. Bukankah sang ayah sudah siap menjadi wali nikah? Apanya lagi yang jadi kendala?
Ternyata, masih ada halangan besar, yakni sang ayah tidak bisa menunaikan tugas wali nikah, sebab dirinya yang berstatus nonmuslim. Meskipun dirinya ayah kandung dan kendati dirinya bersedia, tetap saja agama melarang nonmuslim menjadi wali nikah anaknya yang seorang muslimah.
Ahmad Sarwat dalam bukunya Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan (2019: 108) menjelaskan: Syarat ini seringkali juga disebutkan sebagai ittifaq ad-din, yaitu kesamaan agama antara wanita dengan walinya. Maksudnya, bila agama wanita itu Islam, maka walinya harus juga seorang muslim. Sebaliknya, bilamana wanita itu bukan Islam, maka walinya harus yang juga bukan muslim.
Wanita muslim tidak sah menikah dengan diwalikan nonmuslim, sebagaimana wanita nonmuslim juga tidak sah menikah dengan diwalikan muslim. Termasuk ke dalam kategori kafir adalah orang yang tidak percaya kepada adanya Allah Swt.
Usut punya usut, keengganan sang ibu terhadap pernikahan putrinya berlandaskan trauma. Perceraiannya terdahulu disebabkan sang suami yang memilih pindah agama, murtad dari Islam.
Menurutnya, sang calon menantu belum menunjukkan komitmen ke-Islaman yang kokoh. Bahkan, latar belakang keluarga sang pemuda idaman juga biasa saja pindah-pindah agama. Sang ibu khawatir, keimanan putrinya akan luntur disebabkan pernikahan.
Lantas, bagaimana solusinya jika gadis itu berhasil meluluhkan hati ibunya, sementara ayahandanya nonmuslim?
Ya, tetap saja nonmuslim terlarang jadi wali nikah seorang muslimah. Namun, itu bukan berarti gadis tersebut tidak bisa menikah disebabkan ketiadaan wali.
Aturan Islam sangatlah indah dalam menata kehidupan penganutnya. Kendati ada larangan tegas terhadap sesuatu, tapi agama membuka berbagai opsi lainnya.
Karena wali nikah bagi seorang muslimah bukan hanya ayah, melainkan ada banyak pilihan. Jadi, agama tidak menghambat sebuah niat suci, asalkan kita mau menggali pengetahuannya.
Muhammad Al-Baqir dalam bukunya Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al-Qur’an, Al- Sunnah, dan Pendapat Para Ulama (2016: 91-92) menguraikan: Adapun urutan yang paling berhak menjadi wali nikah bagi seorang perempuan adalah:
1. Ayah kandung, kemudian kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya ke atas.
2. Saudara sekandung, kemudian saudara seayah, kemudian kemenakan laki-laki (anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah).
3. Paman (saudara ayah), kemudian saudara laki-laki sepupu (putra paman dari pihak ayah).
Selanjutnya, apabila semua yang tersebut di atas tidak ada, maka hak perwalian
berpindah pada hakim atau qadhi (yakni, penguasa negeri atau pejabat yang ditugaskan untuk keperluan itu, atau di Indonesia pejabat petugas pencatat nikah dari Kantor Urusan Agama, yang biasa disebut penghulu).
Berkaitan dengan hal ini, dirawikan sebuah hadis Nabi Saw: “Pemegang kekuasaan negara adalah wali bagi siapa-siapa yang tidak ada walinya.”
Muslimah yang ayahnya nonmuslim punya opsi wali-wali nikah yang lain, sesuai dengan urutan di atas. Bahkan, jika wali nikah itu semuanya berhalangan atau mungkin juga nonmuslim, maka wali nikahnya bisa diwakilkan oleh penghulu. Begitulah agama Islam, memberikan kemudahan agar niat suci pernikahan tetap dapat dilangsungkan.
KOMENTAR ANDA