BERITA ini menggemparkan dunia tiga tahun lalu.
Sekitar 10 juta penduduk kota Wuhan di China, menjalani lockdown selama 76 hari sejak Januari 2020. Penguncian dilakukan untuk mencegah virus corona menyebar ke tempat lain. Wuhan menjadi kota tempat COVID-19 pertama kali dilaporkan.
Apa yang dilakukan di Wuhan kemudian menjadi cetak biru penanganan COVID-19 yang melahirkan kebijakan Zero COVID. Tapi apa mau dikata, warga yang mulai marah akibat lockdown yang terus-menerus dilakukan kemudian menggelar demonstrasi menuntut pelonggaran. Mereka memilih opsi lain yang sebelumnya emoh dilirik: hidup berampingan dengan virus tersebut.
Tiga tahun berlalu, Ai Fen mengingat kembali apa yang terjadi dari kacamata seorang dokter yang bertugas di Wuhan. Menurutnya, saat ini, Wuhan jauh lebih siap dibandingkan Desember 2019. Kalau itu suasana diwarnai kekacauan dan disorientasi. Tak ada panduan. Semua orang seolah berjalan meraba-raba dalam kegelapan.
Ai Fen adalah direktur departemen gawat darurat di Rumah Sakit Pusat Wuhan. Ia berada di garda terdepan saat mulai menangani pasien-pasien dengan pneumonia mirip SARS yang misterius tiga tahun silam.
Ai Fen kemudian menekankan kesiapsiagaan kepada stafnya, bersikeras bahwa mereka harus mengenakan masker, mencuci tangan, juga memberikan masker kepada pasien.
Dan tiga tahun setelahnya, kini, ketika gelombang baru infeksi COVID-19 kembali menghantam China, Ai Fen mengatakan bahwa sistem perawatan kesehatan sudah lebih siap.
Rumah sakit di Wuhan tidak mengalami kekurangan obat-obatan maupun perlengkapan medis. Pasokan medis mulai dari sarung tangan, masker N95, ventilator, hingga perangkat terapi oksigen juga sudah dipersiapkan dengan perhitungan membludaknya jumlah pasien selama tiga bulan.
Saat ini, semua rumah sakit diminta untuk menerima pasien demam atau COVID-19 tanpa syarat. Walhasil, pasien memenuhi ruang gawat darurat, unit perawatan intensif, dan unit departemen penyakit pernapasan.
"Dibandingkan tahun 2020, kami kali ini mempersiapkan segalanya lebih komprehensif, termasuk manajemen kepemimpinan, koordinasi SDM, juga penyediaan pasokan," ungkap Ai Fen.
Wuhan, menurutnya, juga menjadi lebih tangguh karena warganya telah berhasil melewati tantangan berat tiga tahun silam. Mereka sudah siap secara mental.
Ai Fen mengenang krisis oksigen yang sempat terjadi di tahun 2020. Tapi saat ini, rumah sakit telah membangun tangki oksigen setinggi dua lantai yang sangat membantu para pasien.
Meski sudah mengalami peningkatan, namun tetap saja perawatan kesehatan masih belum sempurna.
Para staf medis masih membutuhkan pelatihan lebih lanjut tentang penggunaan peralatan dan kelancaran prosedur terkait penyakit pernapasan, serta edukasi yang lebih menjangkau masyarakat luas.
"Jika masyarakat sudah memahami apa dan bagaimana COVID-19, diharapkan mereka tidak akan memadati semua rumah sakit. Mereka diedukasi tentang obat apa yang harus dibeli untuk gejala tertentu, yang bisa dibeli di apotek, tanpa harus antre panjang di rumah sakit," kata Ai Fen.
Ia juga berharap klinik-klinik yang ada di tengah permukiman bisa dilengkapi oksigen dan staf medis terlatih untuk mencegah wabah.
Diketahui bahwa Wuhan bersama Beijing dan Shanghai adalah kota-kota yang mengalami lonjakan kasus baru seiring pelonggaran kebijakan "Zero COVID" awal Desember tahun lalu. Perbedaannya, Wuhan tidak mengalami kelangkaan ibuprofen dan antidemam lain sedramatis di Beijing. Apotek-apotek di Wuhan memastikan obat-obat tersebut tersedia.
"Di satu sisi, tahun 2020 meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi warga Wuhan. Kali ini, warga Wuhan tak lagi panik, seperti yang pernah kami perjuangkan selama dua bulan (di tahun 2020) sebelum akhirnya bantuan datang dari seluruh penjuru negeri," ungkap Ai Fen, dikutip dari CNA.
KOMENTAR ANDA