KESEDIHAN mendalam Rasulullah di Amul Huzni (Tahun Duka Cita) mendapat hiburan pelipur lara dari Allah Swt. Baik Khadijah maupun Abu Thalib tidak mungkin hidup kembali, tetapi Nabi Muhammad menjadi satu-satunya insan yang mengalami spektakulernya perjalanan Isra’ Mikraj. Betapa bahagianya Rasulullah menjalani suatu anugerah terindah yang tak terlukiskan oleh kata-kata.
Namun, sulit sekali bagi bangsa Arab menerima kejadian yang demikian hebat, mengingat mereka hidup di zaman unta yang bergerak tertatih mengarungi padang pasir. Berat bagi logika mereka mencerna perjalanan sangat cepat ke Masjidil Aqsa di Palestina, dan lebih berat lagi memahami perjalanan menembus langit hingga ke Sidratul Muntaha.
Demikianlah sejarah Nabi Muhammad itu ditakdirkan oleh Ilahi, yang di antaranya diwarnai dengan kejadian-kejadian luar biasa. Isra’ Mikraj bukan hanya perkara sejarah yang ditulis, melainkan ujian atas keimanan.
Isra’ Mikraj itu terdiri dari dua rangkaian kejadian: Isra’ adalah Allah Swt memperjalankan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Palestina). Sedangkan Mikraj adalah Allah Swt memperjalankan hamba-Nya dari Masjidil Aqsa menembus langit hingga sampai di Sidratul Muntaha menemui Allah Swt. Jarak tempuh yang demikian jauh itu dapat dipacu dengan kecepatan luar biasa Buraq.
Abul Hasan al-Ali Hasani an-Nadwi dalam buku Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw (2020: 233) menerangkan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa Isra' terjadi pada tahun sebelum tahun hijrah. Dan, diriwayatkan pula oleh al-Hakim, Isra’ terjadi enam belas bulan sebelum hijrah. Juga terjadi perbedaan pendapat mengenai bulan terjadinya peristiwa ini. Ada yang mengatakan bulan Dzulqa’dah, bulan Rabiul Awal dan yang lainnya.
Pendapat yang terkenal, Isra' terjadi pada malam ke-27 bulan Rajab. Pendapat ini dipilih oleh al-Hafiah Ibnu Surur al-Maqdisi. Hal yang disepakati ialah bahwa peristiwa ini terjadi setelah kepergian Nabi Saw ke Thaif.
Perdebatan juga berkembang berkaitan pertanyaan, apakah yang Isra’ Mikraj itu ruh Rasulullah saja, atau jasad dan juga ruhnya? Pertanyaan ini muncul mengingat adanya pendapat bahwa tubuh manusia tidak akan sanggup mengalami perjalanan angkasa luar dalam kecepatan sangat tinggi.
Abul Hasan al-Ali Hasani an-Nadwi (2020: 234) memaparkan: Jumhur ulama Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Isra’ dilakukan dengan tubuh dan ruh. Dalilnya yang paling kuat ialah ketika Rasulullah Saw mengabarkannya di hadapan kaum Quraisy, sebagian orang yang telah masuk Islam diuji keimanannya, hingga ada di antara mereka yang murtad, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Katsir. Seandainya Isra’ dilakukan dengan ruh saja, atau hanya sebatas mimpi, niscaya tidak ada keanehan bagi mereka.
Begitu fajar menyingsing, Nabi Muhammad harus menyampaikan peristiwa Isra’ Mikraj kepada masyarakat Mekah. Suatu perkara yang mudah ditebak ujungnya, kebanyakan kaum Quraisy tidak akan percaya dan bisa saja menertawakan.
Ummu Hani punya peran tersendiri dalam Isra Mikraj. Sebab putri Abu Thalib itu yang mencegah Rasulullah. Dia tidak mau penjelasan yang benar tersebut malah menjadikan beliau bahan cemoohan. Ummu Hani seorang perempuan yang berbudi luhur, yang memerhatikan martabat Nabi Muhammad.
Nizar Abazhah, Bilik-Bilik Cinta Muhammad (2014: 215) menjelaskan: Paginya, beliau menuturkan apa yang dialami semalam. Ummu Hani kaget. Ia cemas Nabi akan mengumumkan hal itu kepada segenap kaum Quraisy. Karena itu, ia menarik baju Nabi ketika beliau bangkit hendak keluar.
Namun, seorang Nabi tidak boleh menutup-nutupi kebenaran. Beliau menghargai pendapat Ummu Hani yang mengandung kebaikan, tetapi tugas kebenaran mesti tetap dilaksanakan.
Tak pelak lagi, kaum musyrikin menjadikan peristiwa suci ini sebagai bahan olok-olokan. Mereka seperti menemukan bahan untuk menuduh Nabi Muhammad sudah tidak lagi waras. Namun, kaum muslimin dengan serta merta menerima Isra Mikraj dengan bermodalkan keimanan.
Abu Bakar misalnya, yang menanyakan apakah benar kabar itu keluar dari bibir suci Rasulullah. Ketika terbukti memang beliau yang mengatakannya, dengan serta merta dia memercayai Isra Mikraj. Saat itu pula Abu Bakar digelari ash-Shiddiq, artinya yang membenarkan.
Terkait dengan Isra’ Mikraj, kebenarannya sudah diungkap oleh Al-Qur’an, surat al-Isra ayat 1, yang artinya, “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Banyak versi yang menolak perjalanan Isra Mikraj itu harusnya dapat diredam dengan memahami maksud ayat “memperjalankan hamba-Nya”, kata ini menegaskan Nabi Muhammad itu diberangkatkan oleh Allah Swt. Maksudnya, Isra’ Mikraj itu terjadi atas kehendak Allah Swt dan apapun dapat terjadi atas izin Allah. Sehingga, bagi orang-orang beriman tidak akan sulit memercayai kebenaran Isra Mikraj, meski sulit ternalar oleh akal manusia, tetapi menjadi sangat mungkin terjadi atas kehendak Ilahi.
Sebagai manusia modern, mestinya lebih mudah bagi kita memercayai peristiwa Isra’ Mikraj. Kita bukan hidup di zaman jahiliyah, yang masyarakatnya hanya mengenal transportasi unta dan sejenisnya. Di era yang supercanggih ini, kita sudah terbiasa dengan kapal terbang, pesawat jet, pesawat ulang-alik dan manusia yang sudah bolak-balik ke luar angkasa bahkan plesiran ke berbagai planet. Mestinya sangat mudah bagi kita mempercayai Isra’ Mikraj sebagai suatu kebenaran.
Akhirnya, Isra’ Mikraj bukan perkara sejarah semata, tetapi dapat dilihat dari berbagai perspektif yang muaranya mempertebal keimanan. Terlebih lagi Isra’ Mikraj itu menjadi perjalanan istimewa dalam rangka menjemput shalat lima waktu. Dengan demikian, setiap shalat kita dapat mencerna hikmah Isra’ Mikraj yang tiada bertepi.
KOMENTAR ANDA