SUAMILAH yang mendorong sang istri untuk berkiprah di luar rumah. Alasannya bukan hanya desakan keuangan, karena sejauh ini suami masih sanggup menafkahi meski tidak bermegah-megah.
Belasan tahun menikah, suami memahami sudah tiba waktunya bagi sang istri keluar rumah. Bukannya terobsesi mengejar karir, melainkan demi mengembangkan kapasitas diri.
Kegamangan berkecamuk di hati sang istri, karena menimbang nasib anak-anak. Tidak akan banyak waktu lagi untuk tiga orang buah hatinya, terkecuali di hari-hari libur yang juga terbatas.
Lagi-lagi suami meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bukan hanya mengandalkan asisten rumah tangga, bahkan suami akan turun tangan langsung, berhubung dirinya sudah memutuskan terus melanjutkan work from home.
Segalanya berjalan mulus, apalagi suami cukup cekatan berperan sebagai bapak rumah tangga. Suami pun dengan rajin share foto-foto dan video-video kegiatan anak-anak yang kian hari makin menggemaskan.
Namun, itu pula yang merajam jiwa keibuan si istri. Betapa sering dirinya melewatkan hari-hari terbaik anak, entah itu pementasan di sekolah, perlombaan yang dimenangi, dan momen-momen penting lainnya. Anak-anaknya hanya bisa bersabar melihat para ibu mendampingi buah hati mereka.
Memang, perayaan ulang tahun anak-anak ditunda hingga week end demi kehadiran ibu, tapi tetap saja si istri tidak tenang batinnya. Berapa banyak hari terbaik anak-anak yang tidak dapat dihadirinya.
Kasus di atas banyak sekali dialami muslimah, terlebih para istri yang juga dituntut turut memperjuangkan ekonomi di garis depan. Di tengah dilema keterbatasan waktu, maka quality time adalah salah satu solusi yang layak dipertimbangkan.
David Daley, dkk pada buku Step by Step Help for Children with ADHD A Self-Help
Manual for Parents (2011: 102) menerangkan:
Apa sebenarnya waktu berkualitas itu? Banyak orang percaya bahwa quality time haruslah waktu yang penuh dengan kegiatan. Ini tidak benar! Waktu berkualitas bersama anak bisa dilakukan dalam bentuk apapun yang diinginkan.
Bisa dengan berpelukan, membaca buku atau bermain bersama. Hanya berbicara, mendengarkan, atau mungkin menghabiskan waktu bersama. Berbagi hal bersama, membuat teh, atau sekadar jalan-jalan bersama.
Anak-anak perlu tahu bahwa mereka dicintai dan diinginkan serta ayah bunda siap menikmati waktu bersama mereka. Jangan biarkan perilaku buruk menjadi satu-satunya cara agar anak mendapat perhatian dari orang tua.
Intinya, bukan sekadar seberapa banyak waktu bersama anak, tapi seberapa mampu meyakinkan betapa Ayah Bunda sangat mencintai mereka. Apalah artinya banyak waktu bersama, tetapi orang tua hanya tidak mampu menghadirkan kebahagiaan batin bagi mereka.
Memang akan sangat sulit bagi Ayah Bunda untuk selalu hadir di hari-hari terbaik anak-anak. Kehadiran fisik memberi makna besar bagi mereka, bisa saja mendongkrak rasa peraya diri anak-anak. Namun, yang membahagiakan anak-anak adalah keyakinan bahwa mereka memang sangat dicintai.
Kurang sibuk apa lagi Nabi Muhammad Saw, akan tetapi beliau menunjukkan makna indah yang menggambarkan relasi orang tua dan anak.
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual (2021: 187-188) menceritakan: Nabi memanggil putrinya “Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas kebaktian Fatimah dalam berkhidmat kepada ayahnya. Bila Nabi tengah berada dalam majelis dan melihat Fatimah di hadapan sahabat-sahabatnya, cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus.
Kadang-kadang dia mencium dahi Fatimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fatimah.”
Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, “Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun aku cium.”
“Aku tidaklah seperti kamu, karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu,” jawab Nabi yang mulia.
Begitulah indahnya cara Rasulullah dalam membangun quality time bersama anak-anaknya. Tidak banyak waktu yang tersedia bagi anak-anak, bukan berarti segalanya menjadi buruk, sebab selalu ada solusi yang terbaik.
KOMENTAR ANDA