Ilustrasi kampanye stop merokok pada anak/Net
Ilustrasi kampanye stop merokok pada anak/Net
KOMENTAR

ADA banyak faktor yang menyebabkan anak menjadi perokok aktif, meniru orangtua, gaya hidup, takut disebut tidak gaul (desakan teman), dan lainnya. Kemudahan dalam mendapatkan rokok, bisa membeli batangan dan harganya yang murah, menjadi salah satu faktor tingginya perokok anak.

Merujuk riset yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), lebih dari 50 persen anak mengalami kekambuhan untuk kembali merokok. Kita mengenalnya dengan istilah Smoking Relapse.

Mengapa demikian? Di dalam rokok terdapat zat nikotin yang menimbulkan efek adiktif dan menyebabkan perokok menjadi ketagihan, kembali merokok meski sudah memutuskan berhenti. Sehingga, potensi untuk kembali merokok pada usia anak, juga sangat tinggi.

Mengutip laman Instagram Pandemictalks, proporsi anak kembali merokok kembali pada anak yang memiliki teman perokok, persentasenya mencapai 88,4 persen. Dilanjutkan dengan terpapar iklan rokok dari majalah (84,4%), dan terpapar iklan rokok di televisi (83,2%). Meniru orangtua perokok juga dapat mendorong anak kembali merokok.

“Harga rokok yang murah juga merupakan faktor signifikan yang mendorong anak untuk kambuh, merokok kembali. Akses rokok murah ini masih memudahkan anak mendapatkan rokok,” kata Risky Kusuma Hartono, Tim Riset PKJS UI dalam webinar “Diseminasi Smoking Relapse”, Kamis (2/2).

Sebenarnya, Presiden Joko Widodo sudah membuat kebijakan larangan penjualan rokok batangan. Begitu pula dengan kenaikan cukai rokok yang disertai dengan kenaikan harga rokok. Kebijakan tersebut diyakini dapat menekan risiko kekambuhan merokok pada anak.

Setelah dilihat profil anak yang mengalami smoking relapse, peneliti menyimpulkan ini banyak dialami anak laki-laki usia SMP.

“Proporsi anak kelas 12 (SMA) paling tinggi pada kekambuhan merokok, yaitu 81,3 persen,” ungkap Muhammad Abdul Rohman, peneliti dalam studi.

Sementara itu, Indonesia menargetkan penurunan prevalensi perokok anak di angka 8,7 persen di akhir 2024. Peneliti juga merekomendasikan pemerintah menerapkan larangan penjualan rokok batangan untuk mencapai tujuan ini.

Perlu pula larangan total terhadap iklan promosi dan sponsorship rokok di berbagai media.

“Pihak sekolah harus memberikan pengawasan dan sanksi tegas pada siswa yang kedapatan merokok,” demikian Abdul.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News