ADA ikhtiar yang diupayakan oleh Ibu Musa yang menunjukkan dia tidak pasrah dengan suratan nasib. Kakak perempuan Musa disuruhnya mengintai kemana arus sungai Nil mendamparkan peti tersebut. Demikialah naluri seorang ibu, tetap ingin memastikan keselamatan bayinya.
Saudara perempuan Musa pun bergerak cekatan, dengan sigap terus diikutinya peti itu yang terus dihanyutkan arus sungai. Dan kejutan berikutnya, peti malah terdampar ke tepi pemandian istana kerajaan, di sana sang ratu beserta dayang-dayang terperanjat menemukan seorang bayi laki-laki nan menawan.
Surat Thaha ayat 39, yang artinya, “(Ilham itu adalah perintah Kami kepada ibumu,) ‘Letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Maka, biarlah (arus) sungai itu membawanya ke tepi. Dia akan diambil oleh (Fir‘aun) musuh-Ku dan musuhnya.’ Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang dari-Ku dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.”
Atas izin Allah, sekejap itu pula terbitlah rasa cinta sang ratu kepada bayi Musa. Naluri sebagai perempuan menggerakkan hatinya untuk mengasihi bayi yang tiada berdaya.
Sederhana saja cara berpikir Fir’aun, kaum Qibti yang tengah berkuasa di Mesir tidak mungkin membuang bayinya ke sungai. Dapatlah ditebak bayi yang ditemukan sang ratu berasal dari keluarga Bani Israil yang tengah diperbudak. Raja Fir’aun hendak langsung membunuh bayi Musa.
Bujukan sang ratu ternyata ampuh melelehkan hati sang raja. Dia meyakinkan bayi itu akan dididik dengan baik sebagai anak angkat sang ratu, sehingga kelak akan menjadi anak yang berguna.
Masalah berikutnya datang lagi, sudah banyak ibu didatangkan untuk menyusui, tetapi bayi Musa menolak semuanya. Sang ratu cemas dengan keselamatan bayi laki-laki yang baru saja membuatnya jatuh cinta.
Di sinilah rencana Allah Swt. makin bergulir dengan agungnya, kemudian datanglah kakak dari bayi Musa yang menawarkan ibunya untuk menyusui. Tentu saja langsung cocok, bukankah bayi Musa menyusu pada ibunya kandungnya sendiri?
Namun, tidak semulus itu juga kejadiannya, sebab sempat muncul kecurigaan. Tapi, akhirnya segalanya aman-aman saja baik bagi keselamatan Ibu Musa dan juga bayinya.
Surat Thaha ayat 40, yang artinya, “Ketika saudara perempuanmu berjalan (untuk mengawasi dan mengetahui berita), dia berkata (kepada keluarga Fir‘aun), ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka, Kami mengembalikanmu kepada ibumu agar senang hatinya dan tidak bersedih.”
Surat Al-Qashash ayat 12, yang artinya, “Kami mencegahnya (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(-nya) sebelum (kembali ke pangkuan ibunya). Berkatalah dia (saudara perempuan Musa), “Maukah aku tunjukkan kepadamu keluarga yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”"
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 3 (2011: 353) mengungkapkan:
Di tengah mencari seorang ibu yang bisa menyusui bayi Musa, maka masuklah saudara Musa dan memberitahukan bahwa dia mengetahui seorang ibu yang air susunya bagus. “Bolehkah aku menunjuki kamu sebuah keluarga yang bisa memelihara bayi dengan sikap tulus ikhlas?"
Ada riwayat yang menyebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika saudara Musa memberitahukan hal itu, mereka agak meragukannya. Mereka bertanya, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa keluarga itu akan berlaku tulus ikhlas kepada bayi ini?”
Saudara Musa menjawab, “Mereka berbuat demikian karena ingin menyenangkan hati raja dan mengharapkan upahnya.”
Menerima jawaban seperti itu, maka selamatlah saudara Musa dan bayi Musa pun diserahkan kepadanya. Ketika mereka melihat bayi Musa dengan tenang menyusu setelah ibunya dihadirkan, keluarga kerajaan bersenang hati.
Seorang di antaranya mereka segera memberi tahu istri Fir’aun tentang keadaan Musa. Karena Ibu Musa bisa menyusui bayi temuan keluarga kerajaan, istri Fir’aun memanggilnya dan diberinya pemberian yang sangat banyak.
Bahkan dia juga diminta supaya tinggal di istana. Tetapi Ibu Musa menolak permintaan itu dengan alasan dia mempunyai suami dan anak-anak. Oleh karenanya, istri Fir’aun memberi belanja yang cukup kepada Ibu Musa dan mengizinkannya membawa bayi Musa ke rumahnya. Dengan demikian, Ibu Musa memperoleh dua keuntungan, anaknya kembali ke pangkuannya dan mendapat upah menyusui.
Meski tidak terduga sebelumnya, tapi skenario Tuhan ternyata tidaklah berbelit-belit, dengan cara sungguh apik bayi yang dihanyutkan di sungai kembali lagi ke pangkuan ibundanya. Janji Allah Swt. selalu benar.
Surat al-Qashash ayat 13, yang artinya, “Lalu, Kami mengembalikan dia (Musa) kepada ibunya agar senang hatinya serta tidak bersedih, dan agar dia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.”
Saat menghanyutkan peti bayinya di sungai Nil, sang ibunda memang dirundung kesedihan bahkan kekosongan hati. Akan tetapi, keimanannya atas janji Allah malah berbalas anugerah yang luar biasa. Justru bayinya aman terlindungi di istana Fir’aun, dan dirinya berkesempatan menyusui dan mengasuh darah dagingnya.
Hamka pada Tafsir al-Azhar Jilid 6 (2020: 581) menerangkan:
Sehingga kesedihan hati sang ibu berpisah dengan putranya tidaklah sampai sehari semalam, “Supaya senanglah hatinya dan jangan dia berduka cita lagi.”
Dan dapatlah dia hidup lebih makmur daripada apa yang dia kira-kirakan semula, menyusukan anak sendiri dan mengasuhnya sampai besar, dengan perbelanjaan tanggungan istana, dan selalu dapat kiriman tambahan, pakaian dan budi baik permaisuri yang lain-lain, suatu hal yang memang takdir ketentuan Allah yang amat indah. Sebab dengan menjadi pengasuh dan menyusukan anak raja itu, Ibu Musa sekeluarga pun dipandang terhormat oleh penduduk negeri.
KOMENTAR ANDA