Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PERIBAHASA bagai pungguk merindukan bulan, dibuat nun jauh pada zaman dahulu kala oleh nenek moyang kita. Jangankan burung Pungguk, di masa itu manusia saja belum mampu ke bulan, bermimpi pun rasanya cukup berlebihan. Jadi, ya tidak realistis burung semungil Pungguk terbang ke bulan.

Wuryanano, dalam buku The Touch of Supermind (2006: 25-26) mengungkapkan: Anda tahu peribahasa ini; “Bagai burung Pungguk merindukan bulan,” itu tidak realistis.

Anda tahu, burung Pungguk itu burung kecil dan tidak bisa terbang tinggi. Biasanya, dia mencari makan di punggung kerbau atau binatang lainnya, sehingga dengan kemampuan terbangnya yang terbatas untuk melampaui gunung pun tidak bakal mampu, apalagi ke bulan.

Leluhur kita membuat peribahasa sebagai iktibar bagi manusia, sehingga Pungguk yang menatap purnama pun dapat dijadikan bahan pelajaran. Menjalani hidup, ya yang realistis sajalah!

Tapi, kita kan hidup di era milenial yang mana perjalanan luar angkasa sudah biasa saja. Manusia mendarat ke bulan, malah sudah menjadi sejarah masa lalu. Nah, bagaimana dengan nasib si burung Pungguk?

Berbeda dengan manusia yang sudah melampaui bulan alias rajin mondar-mandir di luar angkasa, sama saja dengan nenek moyangnya, si burung Pungguk masih saja bertengger di ranting pohon menatap purnama, memendam rindu yang tidak terlerai.

Manusia terus berkembang. Kerinduan malah menjadi kekuatan. Banyak hal yang dicapai manusia dengan kemampuan akalnya. Lantas, bagaimana dengan peribahasa, bagai Pungguk merindukan bulan?

Bisa saja sih kita menyesuaikan dengan modernnya zaman, seperti menjadi Pungguk pertama yang mendarat ke bulan. Tentunya, secara realistis kita tidak perlu repot-repot mengantar burung Pungguk ke daratan bulan.

Jadikanlah ungkapan macam begini sebagai gambaran rasa optimisme kita dalam kehidupan. Banyak hal yang mustahil bagi pandangan umum, tetapi dapat ditaklukkan oleh orang-orang yang punya mental optimis.

Seburuk-buruknya burung Pungguk, dia masih gagah menatap rembulan dan berani merindukannya. Jadi, manusia jangan mau kalah sama seekor burung mungil. Manusia tidak hanya bisa merindu, bahkan melebihi dari itu, yakni dengan mewujudkan segala macam kerinduan tersebut.

Surat al-Hasyr ayat 18, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Ada hari esok yang lebih dari sekadar kerinduan Pungguk kepada rembulan, yaitu kerinduan mukmin terhadap surga di negeri akhirat. Inilah kerinduan yang selayaknya diperjuangkan oleh setiap mukmin. Jika si burung Pungguk tidak mundur selangkah pun merindukan rembulan, maka kita patut lebih percaya diri merindukan surga-Nya, yang telah dijanjikan Allah Swt.

Hamka pada Tafsir al-Azhar Jilid 9 (2020: 55) menjelaskan: Oleh sebab itu, maka teranglah apa yang dimaksud dengan ayat ini, yaitu seyogianyalah orang-orang yang telah mengaku beriman memupuk imannya dengan takwa, lalu merenungkan hari esoknya; apa gerangan yang akan dibawanya menghadap Allah?

Hitunglah terlebih dulu laba rugi hidup sendiri sebelum dihitung kelak. Renungkanlah perbekalan yang telah ada, mana lagi yang kurang. Karena perjalanan akan terus maju dari dunia ini ke pintu kubur, ke alam Barzakh dan ke Hari Akhirat. Ini diperingatkan sekali lagi, supaya lebih mantap dalam hati.

Terlalu berat bagi si burung Pungguk untuk melabuhkan rindunya di bulan, tetapi insyaallah terbuka jalan lebar bagi orang-orang beriman menuju surga-Nya. Insan yang optimis tidak akan kekurangan energi batin guna mewujudkan kerinduan ini menjadi nyata di akhirat kelak.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur