GEMPITA Valentine’s Day menimbulkan kegundahan bagi kaum muslimin. Sekalipun mengusung tagline hari kasih sayang, polemik akan terus mewarnai kehadiran 14 Februari di setiap tahunnya.
Valentine’s Day tidak pernah ada dalam ajaran Islam, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Kalaupun ada upaya menggolongkannya sebagai urf atau tradisi, maka terlebih dulu Valentine’s Day harus membuktikan nilai-nilai manfaat yang dikandungnya.
Hafidz Muftisany pada bukunya Seputar Valentine Days (2021: 17) menjelaskan: Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2017 diperingatkan bagi umat muslim bahwa haram hukumnya merayakan Hari Valentine's setiap 14 Februari.
MUI melarang adanya perayaan Valentine tersebut, sebab sejarah perayaanNYA tidak ditemukan asal usulnya dalam Islam.
Hari Kasih Sayang, mengapa dilarang?
Pertanyaan demikian tentu saja meluncur dari siapa saja yang pro terhadap perayaan Valentine’s Day. Karena sudah terlanjur berkembang, Valentine’s Day akrab dengan cinta, warna pink, bunga, cokelat dan ekspresi-ekspresi romantis.
Bagaimana jika pertanyaannya dibalik. apakah Valentine’s Day itu benar-benar berkaitan dengan cinta kasih?
Yuk, coba kaum muslimin pahamii asal muasal sejarah dari Valentine’s Day.
Kate Gribble dalam bukunya The Lover's Book (2010: 38-39) mengungkapkan: Adalah Santo Valentine, seorang pendeta di Roma yang hidup pada abad ke-3. Pada saat itu, Kaisar Claudius II mengumumkan bahwa lelaki muda dilarang menikah (karena menurutnya lelaki muda lebih berguna sebagai prajurit).
Valentine melanggar hukum ini dan melakukan sejumlah upacara pernikahan. Lambat-laun, pelanggaran ini diketahui banyak orang dan sebagai akibatnya dia dihukum mati, konon pada malam sebelum 14 Februari.
Legenda terakhir menyebutkan, Valentine dijatuhi hukuman penjara. Selama di penjara, ia jatuh cinta dengan seorang gadis yang setia datang mengunjunginya. Dari balik sel, Valentine sering menulis surat cinta dengan menandatanganinya “From Your Valentine”.
Tasyabbuh atau menyerupai tradisi pihak nonmuslim itulah yang membuat perayaan Valentine’s Day diharamkan. Tentu saja pengharaman ini tidak mendadak, sebab terlebih dulu dilakukan kajian mendalam dan berlandaskan alasan yang kokoh.
Adanya hadis Nabi Muhammad Saw yang tegas melarang tasyabbuh menjadi dalil pelarangan sesuatu tradisi yang tidak bermanfaat atau malah merusak.
Jamil bin Habib aI-Luwaihiq dalam buku Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fikih Islam (2022: 55) menerangkan: Hadis Ibu Umar ra dengan derajat marfu’, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.” (Diriwayatkan Ibnu Majah)
Ini adalah hadis yang bersifat umum, termasuk di dalamnya bertasyabbuh kepada orang-orang kafir, para ahli bid’ah, orang-orang fasik, sebagaimana termasuk juga di dalamnya kepada orang-orang baik dan orang-orang beriman.
Teori yang paling sahih pasti akan mendukung apa-apa yang ditunjukkan oleh syariat. Karena di dalam bertasyabbuh kepada orang-orang fasik terdapat kerusakan-kerusakan yang sangat besar. Sedangkan syariat datang untuk menanggulangi berbagai kerusakan.
Sayangnya, kebanyakan di antara mereka yang merayakan Valentine’s Day tidak mengetahui kaitannya dengan sejarah seorang pendeta, yang berhubungan dengan perayaan suci agama lain. Karena memang yang terlanjur digembar-gemborkan adalah kasih sayangnya, yang membuat orang-orang pun terlena.
Bukan sekadar tasyabbuh, pada praktiknya perayaan Valentine’s Day malah bergelimang maksiat di antara muda-mudi yang tidak ada hubungan pernikahan. Sering terjadi berdua-duaan lawan jenis yang bukan mahram, tidak jarang malah berujung perzinaan.
Kalaupun dirayakan bersama, dibarengi dengan pesta foya-foya. Bukannya cinta kasih, malah ujung-ujungnya terjungkal ke jurang dosa. Andaipun ada nilai-nilai kebajikan, anggaplah itu pemberian bunga, cokelat, kata-kata romantis, tetapi kok malah ditujukan kepada lawan jenis yang bukan mahram (bukan suami istri).
Karena dalam praktiknya lebih banyak mudarat daripada manfaat, terlebih asal muasalnya Valentine’s Day berpangkal dari memperingati kematian seorang pendeta, maka wajarlah beberapa negara muslim pun melarangnya.
Kalau urusan kasih sayang, maka agama Islam adalah yang terdepan dan tidak perlu diragukan lagi. Islam adalah agama kasih sayang, tidak terbatas pada 14 Februari saja, dan tentunya ekspresi kasih itu diungkapkan kepada keluarga atau mahram.(F)
KOMENTAR ANDA