Salwa saat berusia 3 tahun bersama sang ayah/ Dok. Al Jazeera
Salwa saat berusia 3 tahun bersama sang ayah/ Dok. Al Jazeera
KOMENTAR

VIDEO si kecil Salwa saat bermain menjadi viral di tahun 2020. Kala itu, sang ayah, Abdullah al-Mohamed mengajarkan Salwa yang baru berusia tiga tahun untuk tertawa jika ada suara bom menggelegar, dengan tujuan agar putri kecilnya tidak merasa ketakutan.

Akibat perang antara pasukan pemerintah dan oposisi, keluarga Salwa terpaksa pindah dari kampung halaman mereka di Saraqeb ke kota Sarmada di perbatasan dengan Turki. Lalu keluarga itu akhirnya pindah ke Antakya.

Gempa besar yang mengguncang kota Antakya di Turki selatan pada 6 Februari meratakan seluruh blok pemukiman serta rasa aman yang telah lama dibangun kembali oleh keluarga Abdullah al-Mohamed.

Tiga tahun setelah ayah dan anak mengusir kematian dengan tawa, kehidupan mereka di Turki dihancurkan oleh serangkaian getaran hebat.

“Gempa bumi itu kuat, saya mencoba mencapai Salwa di sisi lain ruangan, tetapi saya terus terdorong kembali,” kata al-Mohamed.

“Saat itu seperti terjebak di antara kehidupan ini dan akhirat…Kita mengingat hal-hal baik dan tersenyum, dan ketika mengingat hal-hal buruk, kita meminta pengampunan Tuhan.”

Dia akhirnya menggendong putrinya yang berusia enam tahun, yang dilanda ketakutan hebat, ke dalam pelukannya dan terhuyung-huyung menuruni tangga bersama istrinya.

“Tembok telah runtuh dan menghalangi kami untuk menyeberang. Tetangga saya berdiri di sisi lain jadi saya menyerahkan Salwa kepadanya tetapi dia memegangi leher saya … saya harus melepaskannya dengan paksa,” katanya.

Dari jalan, mereka melihat kembali bangunan mereka yang miring. Angin dingin menerpa wajah mereka dan hujan membasahi piyama mereka. Kemudian, gempa kuat lainnya bergemuruh dan meraung.

“Saya pikir bumi retak di bawah kaki kami, di sekitar kami bangunan runtuh. Saya tidak tahu harus lari ke mana. Sesekali kami mendengar jeritan dari reruntuhan dan orang-orang berlari menyelamatkan diri,” lanjut al-Mohammed.

Salwa mulai menangis, begitu pula banyak orang yang dengan panik melarikan diri di sekitarnya. Beberapa jam kemudian, ayahnya menemukan sebuah mobil di mana dia bisa beristirahat dan mendapatkan kehangatan.

“Dia membeku, baik karena kedinginan maupun ketakutan, lalu dia mulai muntah-muntah,” kenangnya.

Kehilangan rumah untuk kedua kalinya, Salwa mempunyai banyak pertanyaan tentang bencana dahsyat yang terjadi.

"Apa yang telah terjadi? Apa artinya orang berada di bawah reruntuhan? Bagaimana orang bertahan hidup di bawah reruntuhan?” dia bertanya pada orang tuanya.

Ayahnya bertanya-tanya berapa banyak kebenaran yang bisa ditoleransi seorang anak.

“Dalam beberapa kasus, kami menjawab pertanyaannya dengan jujur. Dalam kasus lain, kami berbohong,” kata al-Mohammed.

Lebih dari segalanya, dia sekali lagi ingin melindunginya dari trauma, tetapi tahu bahwa tertawa tidak mungkin dilakukan kali ini.

“Dalam situasi seperti gempa bumi, anak-anak merasa bahwa ayah mereka pun tidak berdaya. Sang ayah selalu dianggap sebagai pahlawan, tetapi dalam kasus ini, dia melihat bahwa semua orang tidak berdaya,” ujarnya.

Yang dia lakukan adalah sebisa mungkin membuat Salwa merasa aman.

Keluarga tersebut mengajukan permohonan pemukiman kembali di Kanada lebih dari setahun yang lalu, tetapi lampu hijau terlambat datang.

Dengan harta benda mereka sekarang berada di bawah reruntuhan, al-Mohamed merindukan memiliki “forever home” di mana anaknya dapat menertawakan hal-hal biasa—bukan untuk meredakan ketakutannya.

Ia pun berharap Salwa bisa mulai bersekolah tahun depan.

“Masalah utamanya adalah membuatnya melupakan gempa. Saya tidak dapat menemukan solusi. Saya selalu menemukan solusi untuk banyak hal, tapi untuk yang satu ini saya tidak bisa,” ujar al-Mohammed getir, seperti dilaporkan Al Jazeera.




Andi Arief Lewati Masa Kritis Setelah Transplantasi Hati: Sepenggal Kisah Inspiratif dari RS Apollo New Delhi

Sebelumnya

“Glancing” Picu Tren Digital Baru di Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Horizon