MEREKA benar-benar menepati janji. Orang-orang Yatsrib (Madinah) datang lagi pada musim haji tahun berikutnya. Pada musim haji di tahun ke-12 kenabian, mereka berjumlah 12 orang dengan khidmat menemui Rasulullah. Rinciannya, ada 10 orang dari suku Khazraj dan 2 orang dari suku Aus.
Dan dari 10 orang asal Khazraj ini, lima orang di antara mereka adalah yang sudah datang pada tahun sebelumnya. Orang keenam yang tidak ikut tahun ini ialah Jabir bin Abdullah bin Riab.
Sedangkan tujuh peserta baru lainnya adalah: Mu’adz bin Harits, Dzakwan bin Abdul Qais, Ubadah bin Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abbas bin Ubadah bin Nadhlah, Abu Haitsam bin Tayyahan (asal Bani Abdul Asyhal dari suku Aus), dan Uwaim bin Sa’idah (asal Bani Amr bin Auf dari suku Aus).
Ini bukan sekadar pertemuan melepas rindu melainkan dilanjutkan dengan kejadian monumental, yaitu Baiat Aqabah pertama. Perjanjian ini sangat kuat dan menjadi pondasi penting bagi tegaknya dakwah Islam di era hijrah.
Said Ramadhan Al-Buthy dalam buku Fikih Sirah (2010: 175) menerangkan:
Tahun berikutnya, berangkatlah 12 orang laki-laki dari penduduk Madinah, kemudian dikenal dengan panggilan kaum Anshar, untuk menemui Rasulullah saw. di Aqabah. Pertemuan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Aqabah pertama.
Dalam pertemuan itu, mereka membaiat Nabi Muhammad saw., layaknya “baiat kaum perempuan” (maksudnya ialah baiat yang pokok isinya serupa dengan baiat kaum perempuan, yaitu bahwa mereka tidak berbaiat atas perang atau jihad. Baiat kaum perempuan ini akhirnya benar-benar terjadi di Bukit Shafa setelah mereka melakukan “Baiat laki-laki”).
Kendati tidak ada perempuan dalam ikrar Aqabah, tapi disebut-sebut juga sebagai “baiat perempuan” sebab kandungan isinya yang tidak menyinggung masalah peperangan sama sekali.
Di masa itu perang antarsuku sudah teramat biasa terjadi, bahkan suku Aus dan Khazraj perang berkepanjangan akibat hasutan pihak Yahudi.
Berbeda dengan tradisi perang bangsa Arab, agama Islam justru tidak membahasnya, malah dalam Ikrar Aqabah pertama ditegaskan hal-hal yang paling fundamental bagi umat manusia, yakni ketuhanan dan kemanusiaan.
Said Ramadhan Al-Buthy (2010: 176) menjelaskan:
Dalam sebuah riwayat, Ubadah ibn Shamit menceritakan baiat ini. Ia berkata, pada saat itu, kami berjumah 12 orang laki-laki. Rasulullah bersabda kepada kami, “Kemarilah kalian, berbaiatlah padaku bahwa kalian tidak akan menyekutukan Allah dengan apa pun juga, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak akan membunuh anak-anak kalian, tidak akan melakukan kebohongan yang kalian sebarkan antara kalian sendiri, dan tidak akan bermaksiat.”
“Bila seseorang dari kalian memenuhi (baiat ini), maka pahalanya adalah di sisi Allah. Seseorang yang melanggar salah satu dari (isi baiat) ini, maka ia harus dihukum di kehidupan dunia sebagai kafarat baginya. Seseorang yang melanggar salah satu dari (isi baiat) ini, tetapi ternyata Allah menutupi pelanggaran itu, maka urusannya diserahkan kepada Allah.”
“Jika Dia berkehendak (untuk menghukum), maka Dia akan menghukumnya. Dan jika Dia berkehendak (untuk mengampuni), maka Dia akan mengampuninya.” Ubadah ibn Shamit lalu berkata, “Maka kami pun membaiat beliau dengan semua itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika mereka semua hendak beranjak pergi meninggalkan Rasulullah saw., Rasulullah memerintahkan Mush’ab bin Umair untuk pergi bersama mereka.
Selain itu, Rasulullah memerintahkan sahabat tersebut untuk membacakan Al-Qur’an, mengajarkan Islam dan pengetahuan agama kepada mereka. Oleh karena itu, Mush’ab kemudian dijuluki Muqri' Al-Madinah.
Di sini terlihat bahwa Nabi Muhammad dengan cerdik melihat peluang yang terhampar. Beratnya perjuangan dakwah di Mekah diganjar Allah dengan peluang emas di negeri Yatsrib.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan emas, beliau pun menyertakan Mush’ab bin Umair dan Ummu Maktum dalam rombongan tersebut, yang bertugas menyiarkan Islam di Yatsrib (Madinah).
Ibnu Hazm al-Andalusi pada buku Intisari Sirah Nabawiyah (2018: 86) menguraikan:
Ketika mereka hampir pulang, Rasulullah mengutus Ibnu Ummu Maktum dan Mush’ab bin Umair bersama mereka untuk mengajarkan Al-Qur’an dan aturan-aturan syariat kepada orang-orang yang telah masuk Islam dan untuk mengajak orang-orang yang belum memeluk Islam untuk masuk Islam.
Mereka tinggal di Madinah, di rumah Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Mush’ab bin Umair yang menjadi imam salat mereka.
Dia mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat Jumat pertama dalam Islam di dataran rendah berbatu milik Bani Bayadhah, di dekat sumur yang disebut Naqi’ al-Khadhimat. Jumlah mereka 40 orang laki-laki.
Banyak orang Anshar yang masuk Islam di tangan Mush’ab bin Umair. Di antara mereka adalah Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin al-Hudhair. Dengan Islamnya mereka berdua, Islamlah seluruh Bani Abdul Asyhal, baik laki-laki maupun perempuan, pada hari yang sama.
Tak ada seorang pun dari mereka yang kita ketahui tidak masuk Islam pada hari itu, kecuali Al-Ushairim, yaitu Amr bin Tsabit bin Qais. Dia tidak masuk Islam hingga Perang Uhud. Saat itu dia masuk Islam dan mati syahid dalam pertempuran.
KOMENTAR ANDA