NABI Muhammad sudah menerangkan keutamaan hijrah dan mulai mengarahkan para pengikutnya menuju Madinah. Dan lumayan banyak yang bertanya-tanya siapakah yang dimuliakan Ilahi untuk menjadi Muhajirin pertama menuju negeri hijrah?
Abu Salamah tidak tahan lagi menanggung siksaan yang ditimpakan oleh kaum musyrikin Mekah. Setelah menyaksikan penganut Islam terus bertambah di Madinah, pria itu tergerak hatinya mengajak serta istri dan anaknya lebih dulu pergi menuju negeri hijrah.
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri dalam bukunya Sirah Nabawiyah lbnu Hisyam Jilid 1 (2020: 423) menerangkan: Orang yang pertama kali hijrah ke Madinah dari sahabat-sahabat Rasulullah adalah Abu Salamah. Ia hijrah ke Madinah setahun sebelum terjadinya baiat Al-Aqabah. Ia datang kepada Rasulullah dari Habasyah. Ketika orang-orang Quraisy menindasnya dan ia mendengar masuk Islamnya kaum Anshar, ia hijrah ke Madinah.
Ketaatan mereka kepada Nabi Muhammad sangatlah menakjubkan. Dua kali Abu Salamah berhijrah ke Habasyah tanpa mengeluhkan beratnya rintangan yang dihadapi. Bagi keluarga Abu Salamah, hijrah merupakan bukti kebenaran iman yang bertakhta di dada.
Pengalaman berhijrah ke Habasyah menjadi modal berharga, seakan terbayang segalanya akan lancar-lancar belaka, bukankah Madinah tidak sejauh Afrika. Namun, masalah sesungguhnya bukan pada jarak yang membentang, tetapi terletak pada kesumat kaum musyrikin.
Hampir saja suami istri itu menjadi pasangan pertama yang sukses berhijrah ke Madinah. Bahkan jika dihitung juga anaknya, jadilah mereka keluarga pertama yang gilang-gemilang mencapai negeri hijrah.
Namun, apa yang sudah terjadi merupakan bukti kebenaran dari takdir, dan hanya Abu Salamah yang berhasil menjadi orang pertama berhijrah ke Madinah, sementara istri dan anaknya tertinggal dalam tawanan kaum jahiliyah. Sebuah tragedi memilukan menimpa mereka, sehingga keluarga kecil itu pun tercerai-berai.
Bassam Muhammad Hamami pada buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam (2017: 70-71) mengungkapkan: Ummu Salamah menceritakan, ketika Abu Salamah telah membulatkan tekad untuk hijrah ke Madinah, ia siapkan untanya. Selanjutnya, ia menaikkan aku ke unta itu serta menaikkan putraku Salamah di pangkuanku.
Setelah itu, Abu Salamah membawaku pergi dengan menuntun untanya. Ketika sejumlah laki-laki Bani Mughirah melihatnya, mereka menghadang. Selanjutnya mereka merampas tali unta dari tangan Abu Salamah lalu menyeret diriku.
Saat itu Bani Abdil Asad sangat marah. Mereka menghambur ke arah putra kami, Salamah. Setelah itu, keluarga ayahnya membawa pergi Salamah sementara aku ditawan Bani Mughirah. Abu Salamah, suamiku, melanjutkan perjalanan sampai tiba di Madinah demi menyelamatkan agama dan nyawanya.
Betapa perihnya hati Ummu Salamah melepas kepergian suaminya sendirian berhijrah, sekaligus berpisah dengan keluarga tercinta. Hijrah itu memang berat, terlebih ada rindu yang tak terlukiskan dengan kata apapun.
Suami, istri dan anak terpisah di tiga lokasi yang berjauhan. Namun, Abu Salamah berangkat dipayungi oleh keikhlasan istrinya. Walaupun hijrah itu pahalanya sangatlah besar, tapi sebagai manusia biasa tentulah ada hati yang perih akibat perpisahan.
Bassam Muhammad (2017: 71) menceritakan jeritan hati Ummu Salamah:
Tidak lama kemudian setelah kejadian itu, aku merasa jiwaku teriris-iris. Aku seorang diri dan sebatang kara karena berpisah dengan suami dan anakku sekaligus. Sejak saat itu setiap pagi aku pergi Al-Abthah, kemudian duduk di tempat yang menjadi saksi atas tragedi yang kualami. Aku membayangkan kembali saat-saat ketika aku dipisahkan dari suami dan anakku. Aku terus menangis hingga malam pun tiba menyelimuti hari.
Aku mengalami keadaan seperti itu selama kurang lebih satu tahun, sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang laki-laki keturunan pamanku yang iba melihat keadaanku.
Ia menaruh simpati kepadaku kemudian berkata kepada kaumku, “Tidakkah kalian melepaskan wanita ini? Sungguh kalian telah memisahkannya dengan suami dan anaknya.”
Laki-laki itu terus membujuk mereka hingga akhirnya mereka berkata, “Susullah suamimu jika engkau mau!”
Ketika itu, Abu Abdil Asad juga mengembalikan putraku kepadaku. Aku pun segera menyiapkan untaku. Selanjutnya, aku letakkan putraku di pangkuanku kemudian aku pergi dengan menunggangi unta untuk menyusul suamiku di Madinah.
Penantian panjang itu akhirnya berujung bukan langsung dengan episode yang manis, melainkan terbentangnya suatu perjuangan hijrah. Ummu Salamah memboyong anaknya menempuh padang pasir yang sangat berbahaya. Akan tetapi, risiko itu tidak akan menyurutkan nyali bagi seorang perempuan yang berhijrah.
Ummu Salamah berhasil mencapai Madinah dengan segala lelah lahir maupun batin, segala jerih payah itu terlunasi oleh pertemuan kembali dengan suami tercinta. Keluarga hijrah itu pun berkumpul dalam naungan takwa, dan Nabi Muhammad membanggakan keluarga tersebut.
Kejadian ini juga menjadi iktibar tentang kualitas leadership Nabi Muhammad, betapa mendalamnya beliau menanamkan keimanan yang terpancang di lubuk hati para pengikutnya.
Berkat pembekalan rohani dari Rasulullah selama 13 tahun dakwah di Mekah, makanya kaum muslimin menunjukkan mental baja berhijrah ke Madinah. Di balik decak kagum atas perjuangan Abu Salamah sekeluarga tergambar kesuksesan model leadership Rasulullah yang patut diteladani.
KOMENTAR ANDA