TREN penyakit ginjal kronik mulai bergeser dari yang semula banyak diderita masyarakat lanjut usia menjadi lebih mengarah pada usia muda yang produktif.
"Berdasarkan pantauan Kemenkes sejak tahun 2013, angka prevalensi penyakit ginjal kronis mencapai dua persen. Namun, angka tersebut semakin meningkat di tahun 2018 menjadi 3,8 persen atau sebanyak 739.208 jiwa. Hal tersebut dapat dilihat melalui data Riskesdas 2018 yang menyebutkan jika prevalensi pasien dengan penyakit ginjal kronis untuk usia 15-24 tahun sudah 1,33 persen. Kemudian di usia 25-34 tahun sudah berada pada angka 2,28 persen," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti.
Lebih lanjut Eva mengatakan penderita ginjal akut untuk usia 35-44 tahun berada pada 3,31 persen, usia 45-54 tahun 5,64 persen, usia 55-64 7,21 persen, usia 65-74 tahun 8,23 persen dan usia 75 tahun ke atas mencapai 7,48 persen.
"Artinya, penyakit ginjal ini mulai meningkat justru pada usia produktif sampai lanjut usia. Kalau kita lihat bonus demografi usia produktif di Indonesia semakin banyak, jika penyakit ini kita tidak turunkan saat menghadapi bonus demografi, ini akan menjadi bencana demografi," katanya.
Eva menyebutkan saat ini, banyak kasus penyakit ginjal kronis ditemukan akibat pasien terkena diabetes tipe 2 dan hipertensi. Adapun faktor risiko lainnya dari penyakit ginjal kronis, namun kondisinya masih bisa diberikan tata laksana medis dan diperbaiki. Misalnya, seperti kasus akibat konsumsi obat pereda nyeri, penggunaan NAPZA dan pasien terkena radang ginjal.
"Namun, ada juga faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti bawaan dari riwayat penyakit keluarga, terjadinya kelahiran prematur, trauma di daerah abdomen (rongga tubuh) dan adanya penyakit tertentu yang derita pasien seperti lupus, AIDS dan hepatitis C." demikian Eva.
KOMENTAR ANDA