Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini meminta kepada warga net untuk memviralkan perilaku yang suka pamer harta kekayaan dan gaya hidup berlebih atau flexing dari pejabat negara dan keluarga. 

Hal itu pun disambut dengan meriah oleh warganet. Dalam waktu singkat, sejumlah foto flexing pun bertebaran di jagad maya dan banjir komentar. KPK pun memanggil sejumlah nama yang disebut-sebut memiliki kaitan dengan foto foto flexing tersebut.

Flexing atau pamer sebenarnya merupakan tindakan yang banyak dilakukan untuk mendapat pengakuan dari orang lain, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya karena seseorang merasa kurang percaya diri, sehingga butuh adanya validasi dan perhatian dari orang lain. Hal ini yang kemudian banyak dikaitkan dengan masalah gangguan mental.

Tak sedikit, pelaku budaya flexing merupakan orang-orang yang memilliki insecure yang tinggi. Sehingga hal itu dilakukan dengan harapan  citranya menjadi lebih baik di mata orang lain. Namun, pelaku flexing memiliki kecendrungan untuk menutupi kekurangan yang ada di dirinya. 

Flexing juga dilakukan dengan alasan sebagai ekistensi diri. Dengan memamerkan kemewahan, seseorang akan lebih banyak mendapat perhatian di sosial media.

Efek yang paling terasa dari kebiasaan flexing ini adalah kurang memiliki rasa empati. dampakdari rasa kurang memiliki empati ini adalah rasa tidak peduli. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku apapun di situasi yang bahkan tidak mendukung. Itu semua karena flexing sudah dianggap hal kewajaran.

Menurut Psychology Today, flexing atau pamer merupakan satu hal yang wajar terjadi. Hal ini dikatakan wajar ketika seseorang melakukan pamer untuk meningkatkan motivasi diri, mempersiapkan diri untuk keberhasilan masa depan, menginspirasi orang lain, serta menghindari diri dari risiko depresi.

Namun di sisi lain, flexing juga bisa menjadi satu hal negatif, ketika didasari dengan kondisi psikis. Misalnya flexing dilakukan karena adanya rasa kurang percaya diri, kesepian, atau cemburu. Sebab jika didasari kondisi tersebut, tentunya flexing bisa memicu perilaku ekstrem seseorang.

Dilansir dari Verywell Mind, flexing sangat berpengauh pada kerusakan mental. Tanpa disadari, flexing bisa menimbulkan kecemasan dan stress karena pelakunya dituntut untuk terus memberi tahu orang lain mengenaipencapaiannya.

Sejumlah hgangguan mental dan kesehatan  bisa ditimbulkan akibat budaya flexing ini, diantaranya seperti:

1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), suatu kondisi yang membuat seseorang sulit untuk memusatkan perhatian.

2. Borderline Personality Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang sulit mengontrol perilaku dan susana hatinya.

3. Gangguan bipolar, suatu kondisi yang membuat seseorang mengalami perubahan suasana hati secara tiba-tiba.

4. Histrionic Personality Disorder, suatu kondisi yang ditandai dengan ketidakstabilan emosi, serta kecenderungan untuk mencari perhatian orang lain.

5. Intermittent Explosive Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang sulit untuk mengontrol amarahnya, sehingga berisiko melakukan tindakan yang kasar atau negatif.

6. Narcissistic Personality Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang merasa dirinya lebih hebat atau lebih penting dari orang lain.

7. Oppositional Defiant Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang mudah marah dan merasa tersinggung.




3 Resolusi Sehat Menjelang Tahun 2025: Jangan Abai Mengelola Stres

Sebelumnya

Cara Mengolah Kentang yang Tepat Agar Nutrisinya Terjaga

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Health