AKIBAT hasutan setan, makanya istri Nabi Ayyub pergi meninggalkan suaminya yang tengah terkapar sakit. Perbuatan yang tidak terpuji itu membuat Nabi Ayyub bersumpah akan memukulnya 100 kali.
Sadar dengan kekhilafannya, sang istri pun kembali lagi dan mendapati suaminya sudah sembuh berkat mukjizat Ilahi. Sekalipun telah sembuh, Nabi Ayyub malah bingung dengan sumpahnya, 100 pukulan bukanlah perkara ringan, tetapi sumpah tetaplah sumpah.
Allah tidak mengizinkan aksi kekerasan berlangsung kepada wanita hamba-Nya, di lain sisi sumpah tetaplah harus dijalankan. Allah Swt. pun mengganti hukuman 100 pukulan itu dengan perintah agar Nabi Ayyub mengikat seratus helai rumput lalu memukulkan kepada istri.
Surat Shad ayat 44, yang artinya, “Ambillah dengan tanganmu seikat rumput, lalu pukullah (istrimu) dengannya dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia selalu kembali (kepada Allah dan sangat taat kepadanya).”
Dengan demikian, sumpah pun sudah dilunasi sedangkan pukulan 100 lembar rumput itu tidak menyakiti istrinya. Demikianlah kisah agung ini tercantum dalam kitab suci, dan menjadi sandaran berhukum tentang terlarangnya kekerasan dalam rumah tangga. Apapun itu alasannya! Bahkan sumpah pun tidak bisa menjadi pembenar untuk melakukan kekerasan.
Tak kurang lagi kecaman keras Nabi Muhammad terhadap para suami yang memukuli istrinya. Bahkan, sejak sebelum menerima lamaran, Rasul mewanti-wanti kaum hawa agar menjauhi lelaki yang suka memukul.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku 60 Hadits Shahih (2019: 122-127) menerangkan:
Fatimah binti Qais berkata, ketika beberapa orang melamarku, di antara mereka adalah Muawiyah dan Abu Jahm. Nabi Muhammad saw. memberikan saran, ‘Muawiyah itu tidak memiliki harta sama sekali. Sementara, Abu Jahm sangat keras terhadap perempuan -suka memukul. Pilihlah Usamah bin Zaid.” (Shahih Muslim)
Dari Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi Muhammad saw. yang bersabda, “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya layaknya memukul hamba sahaya, (padahal) ia menggaulinya di ujung hari.” (Shahih Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa seharusnya seorang suami yang mencintai istrinya memperlakukannya secara baik, terhormat, dan bermartabat. Memukul adalah merendahkan martabat manusia. Ini menandakan relasi yang sudah pincang. Sehingga, pilihannya adalah kembali pada komitmen berbuat baik (mu’asyarah bil ma'ruf) dengan meninggalkan memukul, atau menyudahi hubungan suami istri.
Sebab, pondasi dalam relasi suami istri adalah saling hormat satu sama lain, berbuat baik, saling menolong, serta menjauhkan segala tindak kekerasan dan hal-hal lainnya yang membawa kerusakan.
Ingatlah, hadis-hadis itu sangatlah spektakuler, karena dikeluarkan oleh Rasulullah di masa jahiliyah, ketika orang-orang gurun itu memandang unta lebih berharga dari wanita. Mestinya, kita yang hidup di era modern ini lebih berperadaban tingkah lakunya, dan lebih memahami murka Allah dan Rasulullah terhadap pelaku KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
Terang sekali larangan yang disampaikan Rasulullah, bahwa memukul istri adalah perbuatan yang tidak bisa diterima. Tidak perlu diragukan lagi perlindungan Islam terhadap hak asasi manusia, termasuk perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga.
Bahkan, fikih Islam membuka pintu darurat perceraian sekiranya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Semua kita tahu bahwa talak adalah perbuatan halal yang dibenci Allah, tetapi hidup dalam pernikahan yang menganiaya diri justru berujung pada murka Tuhan.
Abdul Syukur al-Azizi pada Buku Lengkap Fiqh Wanita Manual Ibadah dan Muamalah (2015: 331) menerangkan:
Jadi, seorang istri diperbolehkan meminta cerai jika ada sebab-sebab yang dibolehkan menurut agama, seperti suami tidak taat atau bahkan meninggalkan perintah agama, memaksa istrinya berbuat haram, melakukan tindakan kekerasan (KDRT), menolak memberikan hak-hak istri, tidak mau mendengar nasihat terkait dengan kebaikan, dan lain sebagainya. Dalam posisi seperti itu, maka istri boleh meminta cerai dengan tujuan ia tetap dapat memelihara diri dan agamanya.
Tentunya perceraian adalah opsi terakhir yang menjadi pilihan berat untuk menyelamatkan jiwa seseorang dari malapetaka. KDRT yang membahayakan jiwa itulah membutuhkan pintu darurat, meski itu adalah perceraian.
Ahmad Syahrus Sikti dalam bukunya Menolak Kemudharatan (2020: 99 & 102) mengungkapkan:
Kaidah fikih, “kemudaratan harus dihilangkan,” sama halnya dengan kasus perceraian yang dibenci Allah Swt., kecuali jika memang sudah sangat mendesak bagi korban yang dirugikan maka perceraian diperbolehkan.
Memelihara jiwa dari kekejaman dan kekerasan termasuk tujuan dari syariat Islam. Di dalam maqasid al-shari’ah ada istilah memelihara jiwa. KDRT bertentangan dengan prinsip maqasid al-shari'ah, yaitu menjaga jiwa karena jiwa seseorang dihargai dalam syariat Islam.
Sebelum hal yang terburuk itu benar-benar terjadi, makanya suami istri perlu memahami maqasid al-shari'ah atau tujuan syariat Islam yang menjaga jiwa manusia. Itulah yang perlu dipahami dari larangan keras terhadap KDRT.
Tegasnya hukum-hukum Islam yang ditegakkan demi menghindari KDRT hendaknya menjadi pelajaran bagi suami istri bahwa kekerasan tidak pernah memperoleh pembenaran. Masih sangat banyak pilihan selain memukul, asalkan suami istri punya iktikad untuk lebih dahulu menjauhi KDRT.
KOMENTAR ANDA