HIPOTIROID kongenital (HK) adalah gangguan fungsi kelenjar tiroid yang dialami sejak bayi lahir, sehingga bayi memiliki kadar hormon tiroid yang rendah. HK perlu dideteksi sedini mungkin untuk mencegah gangguan pertumbuhan.
Di Indonesia, kondisi ini ditemukan pada 1 dari 2000 bayi yang lahir. Ada beberapa faktor penyebab, yang paling umum adalah kurangnya asupan yodium selama ibu hamil.
Deteksi dini HK dilakukan dengan pemeriksaan skrining pada bayi baru lahir. Tujuannya adalah untuk mencegah anak mengalami gangguan intelektual di kemudian hari.
Pada pelaksanaannya, Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) dilakukan dengan pengambilan sampel darah pada tumit bayi yang berusia minimal 48 sampai 72 jam dan maksimal 2 minggu. SHK dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Adapun prosedur pengambilah SHK adalah:
- Mengambil sampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi atau bagian medial tumit, pada hari ke-2 sampai 4 setelah lahir.
- Darah kapiler diteteskan ke kertas saring khusus.
- Kertas saring tersebut dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas pemeriksaan Thyroid-Stimulating Hormone (TSH)
Apabila hasilnya positif, bayi harus segera diobati sebelum usianya 1 bulan, agar terhindar dari kecacatan, gangguan tumbuh kembang, serta keterbelakangan mental dan kognitif.
SHK minim invasif
Menanggapi kasus bayi asal Medan yang telapak kakinya berubah menjadi merah darah usai dilakukan SHK oleh tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit, dokter anak Vicka Farah Diba menjelaskan, harus dilihat dan diteliti lebih lanjut.
“SHK dilakukan dengan 3 prosedur di atas dan tidak invasif (alat kesehatan tidak menembus ke dalam tubuh secara keseluruhan, baik melalui lubang tubuh atau permukaan tubuh). Hanya ditusuk jarum kecil di tumit bayi dan darah, 1 sampai 2 tetes saja,” kata dr Vicka Farah Diba, MSc SpA kepada Farah.id, Sabtu (18/3).
Lebih lanjut dijelaskan, prosedur SHK hanya ditusuk di ujung tumit bayi. Prosesnya mirip dengan cek gds (gula darah sewaktu), hanya saja gds dilakukan di ujung jari.
“Belum pernah selama ambil SHK, saya lihat ada kejadian itu, ya. Jadi, saya pikir itu perlu investigasi lebih lanjut, karena memang minim invasif. Harus ditelusuri juga penyebab lainnya, seperti kemungkinan bayi memiliki kelainan bawaan yang belum terdeteksi,” ucap dia.
“Bagi masyarakat, semua kejadian itu dianggap sebagai malpraktik, padahal malpraktik itu terjadi kalau memang prosedur medis tidak dijalankan dengan baik, lalu terjadi efek karena salah prosedur. Mungkin, definisi yang beredar itu memang terlalu luas,” demikian Vicka.
KOMENTAR ANDA