NYONYA muda itu gemar menyumbangkan mukena, baju, celana, sepatu dan sandal bekas kepada pembantu. Setiap Minggu pembantunya hendak pulang kampung, sang nyonya rumah rajin memberikan sedekah pakaian serba bekas dan barang-barang tidak terpakai lainnya.
Malah suaminya yang rada-rada cemas. Bukannya pelit sih, tapi pria itu berpikir tidak pemberian barang second itu perlakuan yang tergolong menghinakan martabat kemanusiaan. Sedekah kok barang yang bekas? Apakah tidak melanggar hukum Islam?
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas dalam bukunya Fiqh Ibadah (2023: 425) menerangkan:
Bersedekah beberapa sen dan baju bekas yang sudah lusuh tidak dapat disebut sebagai bersedekah dengan barang berkualitas rendah (ar-radi'), sebab yang dimaksud adalah barang yang berkualitas rendah berdasarkan 'urf (adat kebiasaan), misalnya gabah yang berkutu dan kurma yang murahan.
Ibnu Hajar dan lainnya menyatakan bahwa sunnah hukumnya bersedekah dengan baju yang masih baru selama ia memiliki baju yang lain.
Meski demikian, tidak seyogianya seorang muslim meremehkan sedekah dengan sesuatu yang sedikit jumlahnya (al-qalil) dan tidak menganggap rendah suatu amal, meski semudah apa pun. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Jangan malu memberi sesuatu yang sedikit, daripada tidak sama sekali.”
Diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak dari Ikrimah secara mursal, “Sedekahlah kalian meski hanya dengan sebutir kurma, sebab ia dapat menghilangkan rasa lapar orang.” Dan ia pun dapat memadamkan (menghapus) dosa sebagaimana air yang dapat memadamkan api.
Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya; Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Az-Zalzalah ayat 7-8)
Jadi, pada dasarnya boleh-boleh saja hukumnya bersedekah barang bekas atau yang popular dengan sebutan second hand. Toh, barang-barang bekas juga dapat digunakan selama masih dalam kondisi layak pakai.
Hanya saja cermati dulu ‘urf atau kebiasaan setempat, misalnya nih orang-orang di suatu daerah menolak bahkan merasa direndahkan jika diberi pakaian bekas. Namun, jika diberi sedekah barang bekas yang tidak melekat pada tubuh, seperti piring second, mereka malah senang menerimanya.
Dan berhati-hati pula sedekah barang bekas, karena ada orang yang tersinggung diberi barang yang pernah dipakai. Ini kembali lagi kepada ‘urf atau kebiasaan atau tradisi. Setiap orang dan setiap tempat punya keunikan masing-masing. Sedekah memang sunnah muakkadah atau amalan sunah yang dianjurkan, tetapi menjadi tidak perlu dilakukan apabila menimbulkan kemudaratan.
Terbalik dengan pembantu pada kisah pembuka di atas, pembantu itu senang sekali diberi pakaian bekas bahkan dibagi-bagikannya kepada sanak saudaranya. Mereka senang sekali diberi sedekah baju bekas, bahkan tidak sungkan meminta lagi karena butuh gonta-ganti pakaian.
Tidak boleh lupa diingat-ingat, kendati pihak penerima mau saja dengan barang bekas, tetapi bukan berarti kita semena-mena. Artinya, barang yang kualitasnya buruk ya jangan pernah disedekahkan.
Misalnya, pakaian yang sudah lusuh atau robek-robek ya tidak pantas lagi untuk disedekahkan. Makanan yang rusak mutunya atau mungkin telah basi maka tidak patut pula disedekahkan.
Sedekah barang bekas ini juga menjadi solusi yang cukup unik. Pada kejadian bencana contohnya, kebutuhan terhadap pakaian sangatlah tinggi dan juga amat mendesak.
Para relawan yang mengusung dana bantuan sangat terbatas ternyata cukup cerdik. Mereka justru membeli baju-baju bekas sehingga dana yang sesungguhnya terbatas itu bisa menghasilkan bantuan yang menjangkau lebih banyak korban.
Intinya, ketika fiqh Islam membolehkan sedekah barang bekas, maka umatnya dapat lebih kreatif mengembangkan bentuk pengamalannya.
Kini makin marak bisnis trifting di mana orang-orang dengan riang hati membeli barang-barang bekas. Bedanya, kini aksi beli barang bekas untuk digunakan sendiri, terlebih barang second itu tergolong branded dan kondisinya masih bagus, ya makin bersemangatlah orang memakainya.
Perlu juga diketahui bahwa asal muasal trifting itu adalah membeli barang bekas untuk disumbangkan. Bila sekarang ini trifting malah berkembang menjadi beli barang bekas untuk dipakai sendiri, ya sebetulnya juga tidak masalah. Setidaknya mengurangi sampah atau barang mubazir di permukaan bumi ini.
Namun, apabila ingin memperoleh pahala bersedekah, maka menggunakan barang second pun diperbolehkan dalam fiqh Islam. Trifting bisa menjadi opsi dalam menjalankan amal kebajikan.
Bukan berarti kita bebas begitu saja bersedekah barang bekas, tetap diperhatikan lagi sasaran yang hendak dituju. Tidak semua tradisi memiliki kelapangan hati menerima pemberian barang second.
Sekiranya punya kelebihan rezeki maka tentunya menjadi lebih mulia bersedekah dengan barang-barang yang masih baru. Memang lebih mahal harganya barang yang baru, tetapi sedekah yang terbaik itu ganjarannya sungguh luar biasa.
KOMENTAR ANDA