TIDAK berkurang sedikit pun dukungan perempuan itu terhadap suaminya, tak terkecuali di masa-masa yang teramat mengenaskan, di mana suami tercinta digulung gelombang PHK. Meskipun tampak keperihan pada matanya, lelaki itu tetap berkata tegar segalanya akan baik-baik saja. Bahkan ia siap menjadi pedagang nasi goreng kaki lima juga menjual gorengan.
Betapa terharu sang istri melihat kuatnya suami tercinta melalui terjalnya cobaan hidup. Hanya saja wajah perempuan itu menjadi muram, ketika dalam memulai bisnisnya sang suami melakukan efisiensi nan ganjil. Dia membeli minyak goreng bekas dari restoran dengan harga yang luar biasa murahnya.
Perempuan itu ngeri membayangkan entah berapa kali minyak bekas itu telah dipakai memasak, dan kini digunakan ulang buat memasak gorengan atau nasi goreng. Di samping itu, sungguh ia mempertanyakan kehalalan minyak jelantah tersebut. Boleh jadi minyak jelantah itu bekas menggoreng yang nonhalal. Namun, suaminya kukuh dengan pendirian, minyak jelantah merupakan caranya dalam berhemat.
Luchis Rubianto dalam bukunya Biodiesel (2018: 20) menerangkan:
Minyak jelantah adalah minyak goreng yang dipakai untuk menggoreng bahan makanan dalam satu proses penggorengan bahan makanan, lalu disimpan beberapa waktu untuk kemudian digunakan lagi untuk menggoreng.
Hal semacam ini lazim dilakukan dalam skala rumah tangga maupun dalam usaha restoran, rumah makan, hotel, industri pengolahan pangan dan lain-lain. Minyak goreng yang sudah dipakai itulah yang disebut minyak jelantah.
Tanpa disadari aksi penggunaan minyak jelantah dalam industri kuliner sudah berlangsung, atau oleh sebagian pihak dipandang sebagai biasa saja. Akan tetapi, masyarakat juga perlu memahami bahwa minyak jelantah dalam kondisi tertentu malah berbahaya.
Bahaya kesehatan yang mengintai
Luchis Rubianto (2018: 20-21) mengungkapkan: Pemakaian minyak jelantah yang berulang-ulang akan meningkatkan radikal peroksida yang mengikat oksigen, sehingga mengakibatkan oksidasi terhadap jaringan sel tubuh manusia. Apabila hal ini terus berlanjut, niscaya akan mengakibatkan kanker.
Pemakaian minyak jelantah sampai tiga kali, masih dapat ditoleransi dan dianggap baik, atau tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Tapi jika lebih dari tiga kali, apalagi kalau warnanya sudah berubah menjadi kehitam-hitaman, maka itu sebagai indikasi tidak baik dan harus dihindarkan.
Sedangkan pada minyak jelantah, angka asam lemak jenuh jauh lebih tinggi dari pada angka asam lemak tidak jenuhnya akibat reaksi hidrolisis dan oksidasi selama pemanasan saat digunakan untuk menggoreng. Asam lemak jenuh sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat memicu berbagai penyakit penyebab kematian, seperti penyakit jantung dan stroke.
Minyak goreng yang digunakan lebih dari empat kali akan mengalami proses oksidasi. Proses oksidasi tersebut akan membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan gugus peroksida dalam dosis yang besar dapat merangsang terjadinya kanker kolon. Selain itu, penggunaan minyak jelantah dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan dan diare.
Cukup panjang daftar bahaya terhadap yang dapat dimunculkan sebagai akibat dari pemakaian minyak jelantah. Hendaknya pemakaian minyak bekas dilakukan secara waspada dan benar-benar mempertimbangkan keselamatan tubuh dari beragam penyakit.
Luchis Rubianto dalam buku Biodiesel (2018: 23) menjelaskan pula: Dengan risiko bahaya yang sedemikian itu, maka sekali lagi kita diingatkan bahwa penggunaan minyak jelantah yang berulang-kali harus dihindarkan dan berbahaya jika dikonsumsi.
Hal ini sangat penting untuk mencegah efek negatif yang dapat timbul dari penggunaan minyak jelantah yang demikian itu. Dalam kaidah agama dijelaskan, walaupun halal, namun kalau menimbulkan mudarat, tentu tidak baik dan harus dihindarkan. Apalagi kalau jelas membahayakan kesehatan, maka jadi terlarang dan harus ditinggalkan.
Langkah yang lebih tepat adalah mengkonversi jelantah menjadi bahan bakar sebagai pengganti bahan bakar minyak konvensional yang bersumber dari minyak bumi.
Kehalalan yang harus terkonfirmasi
Seperti biasa, kaum muslimin tidak dapat mencukupkan diri pada aspek thayyib belaka, melainkan faktor kehalalan tentulah menjadi perhatian besar. Jangan dikira minyak jelantah tidak memiliki titik kritis dalam kehalalannya. Sekalipun minyak jelantah sudah dimurnikan lagi maka kecermatan juga perlu ditingkatkan konsumen muslim.
Sebagaimana diterangkan pada laman resmi halalmui.org bahwa:
Minyak jelantah yang sudah dimurnikan relatif lebih baik mutunya, tetapi perlu diperhatikan aspek kehalalannya. Saat ini memang telah banyak minyak goreng yang bersertifikat halal, tetapi jika minyak goreng tersebut digunakan untuk menggoreng makanan yang tidak halal, maka minyak jelantahnya menjadi haram.
Risiko mengonsumsi minyak jelantah yang tidak halal menjadi lebih tinggi ketika masyarakat membeli gorengan dari para penjaja makanan yang belum bersertifikat halal. Para pedagang jenis ini umumnya menggunakan minyak jelantah yang dibeli dari restoran secara langsung, atau sedikit sekali yang melakukan pemurnian kembali, sebelum digunakan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan tentang penggunaan minyak jelantah:
Pertama, pastikan bahwa minyak goreng yang dibeli telah bersertifikat halal.
Kedua, jangan gunakan minyak goreng tersebut untuk menggoreng secara berulang-ulang. Maksimal penggunaan cukup dua sampai tiga kali penggorengan sambil dicermati perubahan warnanya.
KOMENTAR ANDA