PANDEMI COVID-19 ternyata membawa dampak luar biasa bagi kehidupan umat Muslim, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Pembatasan aktivitas sosial yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi paparan virus Corona, membuat warga bertindak serba dalam keterbatasan. Termasuk, dua kali Ramadan dan dua kali Idul Fitri.
Padahal Ramadan diharap-harapkan sepenuh rindu. Tarawih, witir, bahkan untuk meraup pahala iktikaf pun terpaksa diurungkan. Takmir masjid tidak mau ambil risiko berhadapan dengan penularan Covid-19. Jamaah sangat kecewa, namun pengurus masjid berjuang mempertahankan kemaslahatan umat.
Pun dengan Idul Fitri, nyaris sepi-sepi saja. Sanak saudara yang hendak bersilaturahmi, terpaksa ditolak kehadirannya. Begitu beratnya tahun-tahun pandemi bagi kaum muslimin.
Dari itulah, rasa syukur kehadirat Ilahi merupakan hal pertama dan utama sekali yang harus dipanjatkan dalam menyambut Ramadan 1444 Hijriah ini. Kerinduan akan nuansa syahdu bulan suci telah terobati.
Tapi tidak cukup hanya mengandalkan rindu, pertemuan ini haruslah mengesankan. Ingat, Ramadan hanya berlangsung satu bulan saja dalam satu tahun, tidak lebih dari itu.
Tidak ada lagi opsi mengisi Ramadan, kecuali dengan menyibukan diri dalam rangkaian ibadah. Setahun energi kita terkuras lahir batin oleh kecamuk duniawi, maka berilah waktu sebulan penuh ini untuk melepaskan dahaga spiritual.
Hakikat manusia adalah jiwanya, rangkaian ibadah Ramadan yang akan memberikan kelegaan bagi jiwa kita. Apabila Ramadan sudah full ibadah, Insyaallah selepas bulan suci akan memiki energi hati yang luar biasa.
Adapun ibadah itu sendiri bukan sekadar kegiatan fisik, bukanlah untuk melelahkan tubuh dalam bergerak. Ibadah mestilah beranjak dari tujuan yang agung, perlu punya goals tersendiri.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Bulughul Maram Hadis-hadis Ibadah, Muamalah, dan Akhlak (2019: 136) menerangkan, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharapkan rida Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Muttafaq alaih)
Jadikanlah keimanan sebagai landasan beribadah dan keridaan menjadi tujuan ibadah Ramadhan. Sehingga, para hamba-Nya memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya. Begitulah, terstruktur dengan rapi arahan Nabi Muhammad melalui hadist sucinya, yakni berpuasa dengan iman dan harapan terhadap rida Ilahi.
Hanya saja, dalam ibadah pun kita tidak boleh bersikap egois. Istilah orang-orang, jangan berpikir masuk surga sendirian saja. Jadikanlah bulan suci ini sebagai Ramadan keluarga.
Ibnu Hajar al-Asqalani (2019: 136-137) mengungkapkan: Dari Aisyah, Rasulullah Saw bila memasuki sepuluh hari, yakni sepuluh hari terakhir Ramadan, mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Muttafaq alaih)
Ingatlah, sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam puncak yang pahalanya berlimpah. Sehingga, Rasulullah sampai mengencangkan kain sarungnya supaya lebih total dalam beribadah.
Namun, cermatilah bagian akhir dari hadis tersebut, suatu kasih sayang Nabi Muhammad yang membuat dirinya jadi kenangan terindah bagi sang istri. Bahwa beliau membangunkan keluarganya, supaya ikut bergiat dalam rangkaian ibadah di sepuluh malam penghujung Ramadhan.
KOMENTAR ANDA