PADA sejumlah tradisi lokal, pernikahan saat Ramadan masih dipandang tabu. Walau dalil syariat tidak ada yang mendukung pendapat itu, tapi kita perlu membuat pertimbangan matang demi kemaslahatan di bulan suci.
Keinginan menikah terkadang demikian meluap sehingga sepasang insan yang dimabuk asmara itu pun ngotot ingin segera ijab kabul. Sedangkan pihak keluarga juga tak kalah kukuh menolak dengan alasan masih di bulan Ramadan, apa nanti kata orang, bisa-bisa dibilang besar nafsu.
Begitulah cara sebagian kita menanggapi persoalan, selalu dengan mengedepankan, apa nanti kata orang! Kita lebih takut kepada manusia daripada Tuhan. Padahal pendapat manusia bisa berbeda-beda, tak selalu benar dan sangat mungkin terjebak bisikan setan. Tidakkah lebih baik kita mengedepankan, apa nanti kata Allah?
Hukum Sosial
Secara sosial di daerah tertentu terdapat kecaman juga halangan terhadap pasangan yang berniat melangkah ke pelaminan di bulan Ramadan. Niat suci mereka dianggap mencemari kekhusyukan ibadah di bulan suci. Penolakan itu muncul disertai berbagai pertimbangan:
Pertama, andaipun tidak diselenggarakan kenduri, acara pernikahan biasanya disertai dengan jamuan makan. Nah, hal ini menjadi berat mengingat siang hari orang berpuasa. Tidak mungkin orang dipaksa membatalkan puasa untuk menghormati jamuan itu.
Penyelenggaraan nikah pada malam hari juga berat mengingat akan bertubrukan dengan ibadah salat Tarawih, tadarus dan sebagainya. Selain itu kebanyakan orang di malam Ramadan sudah amat kelelahan.
Kedua, Ramadan adalah bulan suci yang cuma sekali setahun. Banyak orang sengaja memangkas kegiatan rutin demi fokus menikmati ibadah di bulan berkah ini. Sementara itu pernikahan tak kalah pelik urusannya; mulai dari perkara administrasi, menghubungi sanak famili, persiapan acara, mencari lokasi serta kesibukan lainnya. Singkatnya, pekerjaan sebesar pernikahan sedikit banyak akan mengganggu kekhusyukan Ramadan.
Ketiga, siapa pun tahu pernikahan menghalalkan hubungan seksual. Walaupun agama mengizinkan persenggamaan di malam hari Ramadhan, tapi sangat besar peluang pengantin melanggar larangan hubungan seks di siang harinya.
Maklum pengantin baru, sekuat apakah mereka menahan sesuatu yang baru nan indah pula? Bila sampai larangan itu terlanggar, maka pasangan itu berdosa dan dijatuhi hukuman sangat berat.
Hukum Agama
Namun, pihak yang berseberangan juga tidak kalah garang menggugat, apabila Allah dan Rasulullah tidak melarang kenapa manusia tega mencegahnya? Mengapa untuk nikah yang bernilai ibadah justru dihalang-halangi? Bukankah dengan menikah di bulan Ramadan pahalanya menjadi berlipatganda?
Pandangan masyarakat boleh dijadikan bahan pertimbangan, tetapi bukan dijadikan landasan utama dalam menarik kesimpulan hukum. Kita wajib merujuk kepada sumber-sumber hukum Islam. Terlebih tidak ditemukan dalil yang terang melarang menikah di bulan Ramadan menurut syariat. Lantas bagaimana caranya menghadapi tradisi yang menolaknya?
Sebetulnya tidak sulit menengahi polemik ini, cukup dengan mengembalikan pada hukum pernikahan. Sayyid Sabiq dalam buku fenomenalnya Fiqh Sunnah menyebutkan bahwa pernikahan seseorang hukumnya bisa wajib, sunnah, makruh bahkan haram.
Wajib nikah bila orang yang sudah mampu kawin siap menafkahi lahir batin, sementara kebutuhan seksualnya amat mendesak. Jika dihalangi menikah dikhawatirkan ia akan terjerumus perzinaan. Maka untuk orang macam ini sudah wajib kawin alias patut disegerakan.
Apabila kedua insan sudah amat mencintai, bergaul terlalu dekat, tak bisa dipisahkan dan—ini paling utama—sangat besar kekhawatiran mereka akan terjatuh ke dosa lebih besar. Kondisi ini membuat pernikahan telah jatuh pada wajib, tak terkecuali di bulan Ramadan.
Sunnah menikah jika orang itu sudah mampu kawin sanggup menafkahi, tetapi dia masih mampu menahan diri dari zina. Makruh saat seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi, walaupun tidak merugikan istri. Haram kalau orang itu tidak mampu menafkahi lahir batin serta kebutuhan seksualnya tidak mendesak, maka ia termasuk yang dilarang menikah.
Bila status seseorang sudah wajib nikah, demi menghindari mudharat yang lebih parah, maka menikah di bulan Ramadan menjadi tak pantas dihalangi. Orangtua atau masyarakat tidak layak berkeras menolaknya, karena menikah merupakan hak kemanusiaan yang dilindungi Tuhan.
Wajib disegerakan nikah juga berlaku bagi orang yang dikhawatirkan akan terguncang jiwanya hingga rusak hidupnya karena dihalangi pernikahannya. Harap maklum, bagi orang yang mabuk cinta, menunda sebulan itu luar biasa lamanya dan berpeluang menimbulkan efek-efek mengkhawatirkan secara psikologis.
Kalau status hukumnya masih sunnah, kita tentunya bisa menunda pernikahan hingga Ramadan selesai. Sehingga pernikahan itu tak dikhawatirkan melanggar larangan selama puasa dan orang-orang pun bisa menyiapkan diri secara lebih baik merayakannya.
Sedangkan bila status hukum nikahnya makruh apalagi haram, sangat dianjurkan menghindari pernikahan itu. Apabila pernikahan itu sudah tergolong kriteria haram, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di waktu-waktu selain itu pernikahannya tak boleh diselenggarakan.
Tetap Menjaga
Jika ada larangan menikah bulan Ramadan, itu lebih disebabkan urusan urf (adat istiadat). Al-'urf adatun muhakkamah; tradisi adalah kebiasaan yang memiliki kekuatan hukum, ungkap Abdul Wahab Khalaf dalam buku Ushul Fiqh. Ya, setidaknya tradisi punya kekuatan hukum sosial. Agar tidak menimbulkan gejolak sosial, setiap kita hendaknya mempertimbangkan juga aspek adat istiadat tersebut.
Kalau hendak dilaksanakan juga nikah di bulan Ramadan, perlu dengan pertimbangan sebagai berikut:
KOMENTAR ANDA