CEMBURU itu sangat manusiawi. Tidak perlu dicela suami atau istri yang lagi terbakar cemburu, toh cemburu juga bagian dari ekspresi cinta. Hanya saja, berhati-hatilah dengan cemburu yang melampaui batas, sebab bisa berujung pada mudarat.
Oleh sebab itu pula, menjadi penting bagi Tuhan mencantumkan kisah kecemburuan dalam rumah tangga Nabi Muhammad sebagai ibrah atas umatnya. Cemburu sih normal-normal saja akan tetapi jangan sampai melampaui batas kewajaran.
Pun ketika Al-Qur’an menceritakan keretakan rumah tangga Rasulullah disebabkan api cemburu, maka diperlukan penafsiran supaya umat dapat memahami hikmahnya secara utuh.
Sulaiman an-Nadawi dalam buku Aisyah (2016: 91-92) menguraikan:
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah untuk mengunjungi semua istrinya dan bercengkerama sebentar dengan mereka setiap habis shalat Asar. Beliau bersikap adil dalam memberikan kesempatan kepada masing-masing untuk berbincang-bincang dengannya, supaya tidak ada seorang pun yang luput dari kasih sayangnya.
Suatu ketika, beliau duduk lama di tempat Zainab, di luar kebiasaannya, sehingga istri-istri yang lain dibuatnya menunggu. Mereka merasa khawatir dan menanyakan kepada Aisyah sebab keterlambatan beliau.
Rasulullah menjawab, “Ada seorang perempuan dari kaum Zainab yang memberinya madu.”
Sementara madu adalah minuman kesukaan Rasulullah. Zainab rutin memberi Rasulullah madu setiap hari. Beliau selalu meminumnya dan tidak pernah menolak, supaya hatinya tidak kecewa. Inilah yang menyebabkan beliau agak terlambat berkeliling.
Aisyah, Hafshah, dan Saudah pun menyusun rencana untuk menyiasati hal itu. Mereka saling berbisik, “Barang siapa di antara kita didatangi Rasulullah, maka hendaknya berkata, ‘Apa yang Anda minum? Bau apa ini yang ada pada diri Anda?”
Rasulullah sendiri sangat membenci bau-bauan pada dirinya. Jika Rasulullah berkata, “Aku meminum madu, maka hendaknya mengatakan kepada beliau, ‘Lebahnya telah menyengat pohon Akasia. Sepertinya madu yang Anda minum adalah madu maghafir yang dihasilkan dari pohon Akasia itu.”
Begitulah, Nabi Muhammad saw. akhirnya berkata, “Tidak, aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan meminumnya lagi, aku bersumpah.” Mulai saat itu beliau membenci madu dan berjanji tidak akan meminumnya.
Di antara istri-istri Nabi saw. ada yang mereka sepakat menyebut sang suami telah meminum madu maghafir yang diberikan Zainab sehingga membuat napas beliau berbau tidak sedap. Taktik ini tercipta disebabkan sebagian istri itu cemburu melihat Rasulullah agak lama bersama Zainab, yang memberikan layanan ekstra berupa madu.
Demikianlah dahsyatnya cemburu, bahkan ada persekongkolan menyebut napas bau disebabkan madu maghafir, padahal itu hanyalah intrik mereka belaka. Namun, Rasulullah sampai terpengaruh hingga mengharamkan minum madu bagi dirinya.
Kejadian inilah yang dibahas dalam kitab suci, bahwa kecemburuan itu tidak boleh kelewatan, jangan sampai berujung intrik dan hindarilah mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah. Madu sejatinya halal, maka tidak boleh diharamkan hanya demi menyenangkan hati pasangan.
Surat at-Tahrim ayat 1-5:
- Wahai Nabi (Muhammad), mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan hati istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- Sungguh, Allah telah mensyariatkan untukmu pembebasan diri dari sumpahmu. Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
- (Ingatlah) ketika Nabi membicarakan secara rahasia suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Kemudian, ketika dia menceritakan (peristiwa) itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukannya (kejadian ini) kepadanya (Nabi), dia (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Ketika dia (Nabi) memberitahukan (pembicaraan) itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahumu hal ini?” Nabi menjawab, “Yang memberitahuku adalah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Pada kejadian ini, yang ditegur adalah rasa cemburu yang berlebihan. Pernikahan tanpa cemburu bagai sambal tanpa garam, tapi jika berlebihan niscaya menimbulkan mudarat. Dan bagian inilah yang perlu mendapatkan teguran tegas.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy pada Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 4 (2011: 370) menjelaskan:
Yang dimaksud dengan “mengapa kamu mengharamkan” yaitu “mengapa kamu tidak mau mengerjakan”, yaitu “mengapa kamu tidak mau mengerjakan”, bukan “mengapa kamu memandangnya barang yang haram?”
Allah mengampuni dosa-dosa mereka yang bertobat. Allah pun telah mengampuni tindakan Nabi yang tidak mau meminum madu, padahal madu itu halal diminum. Allah itu Maha Kekal rahmat-Nya, tidak menyiksa orang yang sudah bertobat. Allah menegur Nabi yang tidak mau meminum madu yang halal, padahal tindakan Nabi seperti itu merupakan tindakan yang diperbolehkan (mubah), baik Nabi berbuat itu dengan sumpah ataupun tidak.
Mengharamkan diri terhadap minum madu tidak dibenarkan, sebab hakikatnya adalah halal. Jadi, kecemburuan bukanlah pembenar diharamkannya diri atas apa pun yang sudah dibolehkan Allah.
Betapa agungnya Allah Swt. yang mengabadikan kisah berharga ini dalam Al-Qur’an bahwa siapapun yang tengah diamuk cemburu harus berani menegur keras agar kecemburuan tidak melampui takaran sehat.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (2011: 369) menguraikan:
Surat at-Tahrim menjelaskan tentang sikap para istri Nabi saw. yang disebabkan oleh rasa cemburu dan beberapa peristiwa lain yang terjadi di kalangan mereka, serta perintah agar mereka bertobat, dan jangan terus menerus bersikap menantang (melawan).
Dalam surat ini, Tuhan menjelaskan keretakan yang terjadi antara Nabi dengan istri-istrinya supaya menjadi pelajaran dan pedoman bagi umatnya, dan supaya suami menghadapi istri dengan sikap lemah-lembut, tidak mempergunakan kekerasan dan kekasaran.
KOMENTAR ANDA