TIDAK ada yang mau terlahir dalam ketidaksempurnaan, karena sejatinya tidak ada manusia yang terlahir sempurna. Tinggal bagaimana manusia menyempurnakan ketidaksempurnaan tersebut untuk dijadikan bekal kesuksesan di masa depan.
Seperti halnya Angkie Yudistia, penyandang disabilitas tuli. Jauh dari lubuk hatinya, ia tidak pernah membayangkan akan menjadi Staf Khusus Kepresidenan untuk bidang disabilitas. Sebab, salah satu finalis Abang None Jakarta ini pernah tidak menerima ketetapan Allah, mengapa ia terlahir sebagai penyandang disabilitas.
“Dulu, saya pernah merasa dikucilkan, tidak terima dengan keadaan seperti ini, terlahir tuli, tidak mampu mendengar. Saya sempat bertanya, kenapa saya dikucilkan sama teman-teman di sana. Saya kecewa,” kata Angkie ditemui di acara Ngabuburit HC X Rexona Hijab: Gema Ramadan Dalam Kebersamaan, di Masjid Al-Bina Senayan, Jakarta, Sabtu (8/4).
Namun seiring berjalannya waktu, perempuan lulusan London School of Public Relations Jakarta ini tersadar dan mulai belajar untuk menerima dan mencintai segala kekurangan dirinya.
“Kita hidup serba terbatas, tapi jangan sampai membatasi diri. Kita harus bergerak untuk mewujudkan kesuksesan. Kita harus tahu mau apa, sehingga bisa bergerak mengikuti cita-cita. Jadi kalau kita terus bergerak dan tahu apa yang diinginkan, kemudian tercapai, kita harus bisa membagi kebahagiaan dan ilmu itu untuk membantu orang-orang yang membutuhkan,” ujar politikus kelahiran Medan, 5 Juni 1987 ini.
Memang, layaknya roda yang berputar, kehidupan pun demikian. Yang penting untuk diingat, waktunya manusia untuk saling tolong menolong karena sesungguhnya manusia yang baik itu adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Sukses di karir
Angkie adalah politikus Indonesia. Pada 2019 ia diangkat menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo. Baginya, ini adalah prestasi yang luar biasa dan menjadi sebuah bentuk tanggung jawab moral yang harus diselesaikan dengan baik.
Penulis buku Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas: Ketika Keterbatasan Mendengar Menjadi Sebuah Kelebihan, ini menjadi staf khusus bidang disabilitas. Selama menjabat, ia telah berhasil membuat 7 Peraturan Pemerintah dan 2 Peraturan Presiden terkait disabilitas. Baik PP maupun Perpres tersebut diselesaikannya hanya dalam jangka waktu 1 tahun.
“Sebuah kepuasan ketika peraturan-peraturan tersebut selesai, jadi ada sebuah bentuk advokasi untuk teman-teman disabilitas. Sejak 2016 undang-undang disabilitas diajukan dan 2021 kemarin baru terwujud. Syukur alhamdulillah,” ucap penulis Setinggi Langit: Menelusuri Cakrawala Perjuangan Perempuan Peneliti Indonesia.
Saat ini, lanjut Angkie, sudah ada nomor pengaduan 143 dan akun Instagram @komnasdisabilitas. Adapun Komnas Disabilitas dipimpin oleh 7 orang, di mana 4 diantaranya adalah penyandang disabilitas.
Komnas Disabilitas sendiri bertugas mengadvokasi untuk mewujudkan, mengimplementasikan kebijakan pemerintah, dan mengadvokasi segala bentuk pengaduan yang datang, mengakomodir kebutuhan disabilitas.
Pentingnya berbagi peran
Terkait peran sebagai ibu rumah tangga, Angkie mengaku hingga saat ini belum bisa membagi waktu atau menyeimbangkan waktu dengan keluarga. Ibu dua anak ini lebih memfokuskan pada berbagi peran dengan support system yang ada.
“Pagi-pagi aku tetap bertugas sebagai ibu yang mengurus anak dan menyediakan semua kebutuhan suami. Aku jujur perlu support system dan kebetulan rumahku dekat dengan mertua dan kakak ipar. Intinya, aku membutuhkan mereka dan bagaimana agar tetap berjalan baik adalah dengan menjalin komunikasi yang baik pula dengan support system ku,” ujarnya.
Terakhir Angkie berpesan, apapun aktivitas kita yang melelahkan, tetaplah bahagia. Dengan ibu bahagia, anak pasti bahagia, keluarga pun bahagia. Lebih bersyukur dan jangan insecure.
KOMENTAR ANDA