IBNU Rajab al-Hambali menuturkan kisah menarik tentang seorang ulama Salaf yang menjual budak wanitanya (jariyah) kepada seorang saudagar kaya raya. Tidak lama tinggal di rumah majikan yang baru, jariyah itu merasakan keanehan yang meresahkan dirinya. Ia melihat semangat tuannya begitu besar menyediakan dan mengumpulkan aneka makanan sebanyak-banyaknya.
Dia bertanya, “Untuk apakah Tuan menyediakan makanan, padahal sebelumnya Tuan tidak sangat bersemangat mengumpulkannya?”
Majikannya menjawab, “Untuk menyambut bulan puasa yang sebentar lagi tiba.”
“Sepertinya, Tuan tidak pernah puasa selain Ramadan. Tuan mengerjakan puasa Ramadan hanya untuk bersedap-sedap dan memperbanyak aneka makanan saja.”
Perkataan jariyah membuat sang majikan terperangah, karena melampaui logika manusia biasa dan melebihi nyali kebanyakan jariyah.
Berikutnya, wanita itu mengatakan hal yang lebih mengejutkan. “Kiranya saya tidak dapat bersama Tuan, sudilah Tuan menjual saya kembali kepada tuan saya yang dulu.” (disarikan dari Ahmad Syarifuddin pada buku Puasa Menuju Sehat Fisik)
Budak wanita atau jariyah itu kurang beruntung, karena hidup di masa perbudakan masih berlangsung. Tubuhnya memang tertawan oleh majikan, tetapi jiwanya bebas merdeka. Pemahamannya terhadap saripati puasa membuat pesonanya melampaui kelemahan jiwa sang majikan laki-laki yang bertekuk lutut kepada hawa nafsu.
Menuju Esensi
Ibadah puasa bukan sekadar aktivitas menahan nafsu makan, minum, seksualitas, dan sebagainya. Esensi puasa kembali kepada peningkatan kualitas pribadi masing-masing. Sekalipun dia hanya budak, tetapi pemahamannya terhadap hakikat puasa membuka jalan kemenangan untuk memahami siapa sesungguhnya dirinya.
Lain halnya sang majikan, yang justru diperbudak oleh imajinasi duniawi yang semakin membuatnya kabur melihat diri sendiri.
Allah Swt yang secara terang benderang mengingatkan bahwa muara akhir puasa adalah ketakwaan. Jelas sekali kalau takwa itu kembali kepada kualitas diri. Puasa itu bukan saja latihan fisik, namun juga mengasah jiwa, mengajak hamba-hamba-Nya lebih mengenali diri dan menggali energi di dalam jiwa.
Sungguh, kehadiran puasa Ramadan merupakan anugerah terindah bagi perempuan, suatu penyegaran kepribadian yang secara khusus tidak akan dialami di bulan-bulan lain.
Puasa menjadi kepompong yang menciptakan kecantikan batiniah khas perempuan, yang bersifat amat feminin. Bukan saja untuk dirinya dan keluarga, nilai itu hendaknya menjadi energi yang melukis wajah indah kepada lingkungan.
Di tengah kecamuk zaman yang membuat bumi kian panas dan relasi antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya kian meruncing, dengan jiwa feminin khas perempuan akan terbangun jembatan keharmonisan. Di sinilah wanita memperoleh kesempatan emas dalam memuliakan diri, mempersatukan manusia pada umumnya, dan mengagungkan agamanya.
Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu, artinya siapa yang memahami hakikat dirinya akan memahami pula tentang Tuhannya. Sebab Tuhan yang menciptakan diri manusia, dan di dalam diri pula kita akan memahami banyak keagungan Ilahi.
Feminin Puasa
Silang sengketa tentang standar feminin muncul, karena yang dibayangkan adalah sosok perempuan bersepatu hak tinggi, pakaian nan anggun atau anting besar yang berkilau.
Sekian lama wanita dituntut perkasa oleh lingkungan kerja, atau aktifitas rutin yang menjemukan. Sehari-hari yang nyaris selama setahun penuh wanita menjadi terpaksa lebih perkasa dari pada pria dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Sampai-sampai yang ditemukan bukan saja wanita yang karakternya sudah seperti pria, bahkan ada juga wanita yang gayanya sudah serupa dengan kaum Adam. Kehidupan terkadang tidak adil bagi sebagian wanita yang membuat karakter femininnya tergerus.
Lalu datanglah Ramadan, bulan berlimpah berkah. Puasa hendaknya menempa kehalusan karakter feminin yang memang menjadi nilai unggulan kaum hawa. Bagaimana caranya?
Pertama, mengasah kelembutan. Lihat segala hal dengan hati, payungi segala sikap dengan kasih sayang, Praktikan cara-cara halus dalam menyelesaikan segala urusan.
Kedua, melatih kepekaan. Buka mata hati secara jernih, lalu jujur dengan hati nurani. Latih diri untuk peduli dan menunjukkan kepedulian.
Ketiga, meningkatkan empati. Resapi keadaan orang lain sebagai bagian dari yang kita alami, lalu memperlakukan dengan semangat cinta. Senantiasa membiasakan diri terjun dalam kesusahan atau kemalangan orang lain.
Dari pada menguras energi yang ujung-ujungnya mengorbankan keluarga dan diri sendiri, lebih berguna bila Ramadan menjadi sarana mengasah kepekaannya terhadap anak-anak dan suami, menunjukkan empati yang mendalam, dan kelembutan yang mengayomi.
KOMENTAR ANDA