RASULULLAH pernah berkhotbah: “Wahai manusia, suatu bulan yang penuh dengan nikmat, rahmat, dan ampunan telah datang mendekat. Ia adalah bulan yang Allah anggap sebagai bulan terbaik dari seluruh bulan. Siang harinya di sisi Allah merupakan siang hari terbaik. malam harinya merupakan malam hari terbaik. Waktu-waktunya merupakan waktu-waktu terbaik.”
“Ia adalah suatu bulan di mana kalian diundang sebagai tamu-tamu Allah, dan selama bulan itu kalian dianggap layak menikmati karunia Allah. Tarikan-tarikan nafas kalian (dianggap) sebagai untaian-untaian tasbih kepada Allah Yang Maha Agung, dan tidur kalian dianggap sebagai ibadah kepada-Nya. Amal-amal ibadah kalian diterima dan doa-doa kalian dikabulkan.” (Yasin T Al-Jibouri & Mirza Javad Agha Maliki Tabrizi pada buku berjudul Rahasia Puasa Ramadhan (2002: 74))
Hati yang jernih akan bergetar mendengar seruan mulia Rasulullah Saw ini. Ramadan adalah cinta sejati yang harus diperjuangkan. Kita siap berkorban apa saja supaya Ramadan jatuh dalam dekapan.
Siapakah pemilik sah Ramadan?
Ya, siapa lagi kalau bukan orang-orang beriman. Sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa puasa itu bagi mereka yang beriman. Perkara iman bukan monopoli milik laki-laki saja, perempuan juga manusia. Perempuan juga punya agama, perempuan juga punya iman dan takwa.
Perempuan juga diundang oleh Allah Swt untuk menjadi tamu istimewanya di bulan suci ini. Sehingga perempuan (beriman) juga tergolong sebagai pemilik sah Ramadan. Dengan terbitnya rasa memiliki itu diharapkan akan berimbas ke beberapa dampak positif:
Pertama, perempuan akan lebih mencintai Ramadan. Dengan rasa memiliki, kita dapat menjaga Ramadan dengan baik, dan tentunya berbahagia dengan kehadirannya.
Kedua, perempuan hendaknya melakukan yang terbaik dalam mengisi Ramadan. Perbuatan tercela yang berujung dosa dijauhkan, sebab akan merusak keagungan Ramadan. Tidak sepantasnya kita merusak sesuatu yang amat berharga untuk dicintai.
Ketiga, perempuan akhirnya merindukan kembali kehadiran Ramadan. Sebagaimana perempuan yang melepas kekasihnya ke rantau, dia merindukan kehadirannya kembali dalam dekapan. Sebab, tidak selalu yang kita miliki ada di sisi kita. Perpisahan itu juga penting memupuk kerinduan. Perempuan senantiasa merindukan Ramadan, lagi dan lagi.
Namun, sikap terhadap segala anugerah yang dimiliki juga kembali kepada kualitas pribadi masing-masing. Banyak juga yang menyia-nyiakan sesuatu yang sebetulnya amat berharga. Ada yang merusak yang harus dilindunginya.
Makanya, jangan heran bila tidak sedikit pula orang yang menyia-nyiakan bahkan merusak kekhusyukan Ramadan. Orang-orang seperti ini biasanya disebabkan kurang tahu dan kurang sadar betapa mereka adalah tamu undangan istimewa di bulan suci.
Perempuan juga bisa termasuk yang mengabaikan Ramadan. Perempuan yang merusak Ramadan disebabkan kurang sadar keagungan Ramadan. Orang macam ini perlu dibukakan mata batinnya, perlu diperlihatkan kemuliaan-kemuliaan Ramadan yang akan mengangkat kualitas dirinya.
Ada suatu hal menarik yang berhubungan dengan perempuan, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku Kebebasan Wanita Volume 2 (1997: 220):
Dan dalam satu riwayat menurut an-Nasa'i, “Tatkala tinggal lagi sepertiga terakhir dari bulan Ramadan, dia pergi kepada anak-anak perempuan dan istri-istrinya, dan dia kumpulkan orang banyak. Lalu dia melaksanakan qiyamul lail bersama sehingga kamu khawatir akan tidak kebagian al-falah.
Daud bertanya, “Apa al-falah itu?"
Dia menjawab, “Sahur!"
Demikianlah Nabi Muhammad menyakinkan kaum perempuan bahwa mereka adalah tamu-tamu Tuhan di bulan Ramadan. Sehingga di sepertiga akhir yang merupakan puncak Ramadan, beliau mengumpulkan para istri dan seluruh anak perempuannya, mereka dibimbing untuk menikmati indahnya qiyamul lail.
Tidak ada Rasulullah menyibukkan para istri dan anak-anak perempuannya dengan persiapan Idul Fitri, atau yang berkaitan kemegahan duniawi, semisal makanan atau berpakaian. Beliau benar-benar meyakinkan kaum perempuan tentang indahnya Ramadan yang merupakan anugerah Ilahi.
KOMENTAR ANDA