Ilustrasi stop perkawinan anak/Net
Ilustrasi stop perkawinan anak/Net
KOMENTAR

BERKAT Kartini, perempuan bukan lagi sosok yang hanya berdiam di rumah, mengurus suami dan anak. Perempuan Indonesia bisa menjadi apapun dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Jasanya membuat para perempuan Indonesia bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, berpartisipasi dalam kursi pemerintahan, atau bekerja dengan profesi tinggi dan kedudukannya setara dengan laki-laki. Kartini, pejuang emansipasi kaum perempuan.

Tetapi miris, di tengah ‘kemerdekaan’ perempuan sebagai hasil dari perjuangan Kartini, nyatanya perempuan Indonesia masih terkukung, tenggelam dalam kemajuan zaman yang justru membuatnya kian tak berdaya terhadap laki-laki.

Buktinya, Indonesia menempati urutan ke-7 dunia terkait pernikahan dini. Pernikahan anak-anak, yang membuktikan bahwa perempuan Indonesia belum bisa mengartikan kemerdekaannya dengan baik.

Memang, persentase perkawinan usia anak untuk perempuan terus menurun setiap tahunnya. Tapi sayangnya, penurunan tersebut tergolong sangat lambat. Angka absolut untuk perkawinan anak yang terjadi menempatkan Indonesia pada urutan ke-7 di dunia. Suatu prestasi yang tidak bisa dibanggakan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkap, kasus perkawinan anak di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan anak, pada 2021 tercatat 65 ribu kasus dan menurun di 2022 menjadi 55 ribu pengajuan.

Permohonan pernikahan anak lebih banyak disebabkan faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dulu dan faktor dorongan dari orang tua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki tempat dekat.

“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis, bagi anak-anak perkawinan dini dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah, hingga ancaman kanker serviks atau kanker rahim,” kata Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kemen PPPA Titi Eko Rahayu, mengutip laman Kemen PPPA.

Amandemen terhadap UU Perkawinan di 2019, di mana usia minimum perkawinan adalah 19 tahun, menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat.

Tetapi fakta di lapangan, permohonan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan ini sudah sangat mengkhawatirkan. Anak-anak ini adalah harapan masa depan, untuk membangun Indonesia dan kasus perkawinan anak menjadi penghambar besar.

Ini tanggung jawab bersama, karena isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral. Jadi, yuk para orang tua untuk lebih sadar dan membangun kepercayaan diri anak bahwa pernikahan dini bukan solusi tepat untuk masa depan mereka.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News