APA jadinya ketika seorang istri frustasi lantaran gagal dan gagal lagi membujuk suaminya agar kembali ke jalan Allah, bertaubat, dan mempertahankan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah?
Sang suami, yang dia cintai sepenuh hati, ternyata tak berhenti berpaling ke lain raga. Meskipun lelaki itu telah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi, nyatanya janji tinggal janji.
Tak ada lagi cinta, tak ada lagi percikan asmara, tak ada lagi debar dan gairah, begitu dalih sang suami tentang hubungan yang ‘membeku’ dengan istrinya.
Ketika pertahanan jiwa si istri telah dikalahkan oleh kepedihan hati, maka dia berpikir “tak ada jalan lain” untuk mengembalikan suaminya selain dengan memberi hukuman sosial sebagai efek jera. Bukankah hukuman sosial jauh lebih berat dibandingkan hukuman pidana sekalipun?
Ketika seseorang tersangkut aib dan maksiat, masyarakat akan ‘mengucilkan’ dengan cara yang kejam. Andaikan dia seorang pedagang di pasar yang tokonya selalu dipenuhi pembeli setiap hari, dalam sekejap, tokonya akan dijauhi. Aibnya menjadi konsensus untuk semua pihak secepatnya memutuskan hubungan.
Dan cara terbaik yang ada di pikiran istri adalah meluapkannya di media sosial. Inilah cara satu-satunya yang diharapkan akan membuka hati dan pikiran suaminya untuk berubah. Harapannya satu, sang suami bertobat. Lalu mereka bisa kembali menjalani kehidupan rumah tangga yang indah seperti awal mereka bersama.
Dan sang istri pun mulai menembakkan ‘peluru’ demi ‘peluru’ ke sana kemari, untuk memperlihatkan betapa dahsyat aib sang suami. Membuat seisi dunia gaduh dan mengutuk keburukan suaminya.
Memang betul, tak seorang pun dari kita berhak menghakimi boleh tidaknya yang dilakukan sang istri, karena kita mungkin tidak pernah merasakan kepedihan, kesedihan, dan kehancuran hati yang ditimbulkan oleh ulah bejat suaminya.
Namun, kita hendaknya mengingat bahwa ada sejumlah dalil yang menyebutkan bahwa kewajiban suami istri adalah menjaga aib pasangannya.
Dalam sebuah hadis dari Abu Sa’id Al Khudriy, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di hari kiamat adalah seorang laki-laki (suami) yang bercampur (bersetubuh) dengan istrinya, kemudian membeberkan rahasia istrinya tersebut.” (HR Muslim)
Sejumlah ulama menafsirkan bahwa makna hadis tersebut bukan sekadar tentang hubungan intim tapi juga kehidupan rumah tangga pada umumnya. Juga bukan hanya larangan bagi suami, melainkan juga bagi seorang istri terhadap aib suaminya.
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) seorang hamba (yang lain) di dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (HR Muslim)
Atau penggalan ayat 187 surah Al-Baqarah yang artinya, “Mereka (istri-istri) adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka.”
Kita tahu bahwa fungsi pakaian adalah untuk menutupi. Karena itu, jika seorang istri telah melakukan berbagai upaya yang diridhai Allah untuk mengembalikan suaminya untuk kembali menjadi hamba Allah yang taat, namun ternyata laki-laki itu tetap berpaling dari kebenaran dan kebaikan, Allah Swt. yang Mahatahu isi hati kita.
Jika ingin berjuang hingga akhir hayat, berjuanglah. Simpan rapat-rapat aib itu.
Tapi jika sang imam tetap tak mengubah perangai dan perilaku buruknya yang sama sekali tidak mencerminkan laki-laki saleh, Allah memberikan “pintu darurat” bernama talak. Namun tetaplah, simpan rapat-rapat aib itu, semoga kelak menjadi saksi meringankan karena kita memutuskan untuk membuka “pintu darurat’ yang dibenci Allah.
Jika memang harus BUBAR, bubarlah. Tak perlu DIUMBAR.
Wallahu a’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA