Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SUDAH rajin salat kok masih senang maksiat?

Pertanyaan menohok itu sangat mungkin mengapung tatkala kita menyaksikan orang yang perangainya buruk, bertolak belakang dengan ibadahnya. Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa pertanyaan seperti itu justru cocok dengan diri kita sendiri.

Begitu besar harapan yang disangkutkan kepada salat sebagai ibadah utama umat Muslim. Dengan rajin salat akan berdampak positif terhadap akhlak nan mulia.

Tapi apa mau dikata, tidak jarang saat hendak menunaikan salat pun bermaksiat, atau melakukan perbuatan dosa tanpa rasa bersalah.

Lalu, bagaimana seorang hamba memaknai salatnya? 

Darwis Abu Ubaidah dalam Tafsir Al-Asas (2012: 166) menjelaskan, mendirikan atau mengerjakan salat dengan benar, sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, akan memberikan dampak dan pengaruh sangat besar bagi kedudukan seseorang di hadapan Allah, serta melahirkan perilaku mulia dalam kehidupan sehari-hari.   

Salat memang diyakini berdampak positif bagi akhlak terpuji, bahkan umpama benteng yang menangkis beragam keburukan atau kemaksiatan.

Surat Al-Ankabut ayat 45: “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Hasan Zakaria Fulaifil dalam bukunya Jangan Pernah Lalaikan Shalatmu (2006: 27) menulis, karena salat yang dikerjakan dengan ikhlas akan bisa menjauhkan orang yang mengerjakannya dari dosa-dosa besar dan hal-hal yang dilarang oleh syara’, mengajak untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa mengingat-Nya, dan hal-hal yang lain yang mendatangkan pengaruh dan pahala yang amat besar.

Hendaknya kita menunaikan salat yang benar, yakni salat yang menyertakan jiwa, alias bukan sekadar gerak tubuh atau getar bibir belaka. Salat yang benar itu adalah yang ditunaikan dengan ikhlas, bukan sekadar kegiatan mengejar lunas kewajiban saja.

Hanya salat yang benar mampu mencegah diri dari perbuatan maksiat atau dosa. Tanpa keikhlasan, salat tidak akan pernah sempurna ditunaikan, sehingga kita pun masih saja tergelincir kepada perbuatan terlarang, atau seperti banyak orang menyebut, ‘salat lancar tapi maksiat jalan terus’. 

Jangan pernah menjadikan salat sebagai pencitraan, tidak ada gunanya membangun imajinasi publik dengan menunaikan salat serajin mungkin di depan khalayak ramai. Salat itu hubungan suci hamba dengan Tuhannya, dan tentunya bukan pentas pencitraan.

Dan jangan pula jadikan salat sebagai pelarian atau tameng dari kerapuhan jiwa, kita bersembunyi dengan menunaikan salat agar publik mengira kita sosok yang suci. Jelas itu bukan tujuan salat, sebab salat akan benar dengan keikhlasan semata karena Allah Swt.

Sahri dalam buku Mutiara Akhlak Tasawuf (2021: 71-72) menguraikan, Rasul pernah bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, kemudian dia mandi lima kali setiap hari, apakah masih tersisa kotoran darinya?”

Para sahabat menjawab, “Tidak akan tersisa sedikit pun kotoran darinya.” 

Beliau bersabda, “Itulah perumpamaan salat lima waktu, Allah akan menghapus dosa-dosa dengan salat lima waktu.”

Salat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbarui semangat dan sekaligus sebagai penyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, salat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan. Ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.

Uraian di atas jika dicerna dengan apik dapatlah menjadi pencerah bagi kita untuk menemukan titik terang agar salat yang ditegakkan benar-benar menjadi benteng dari perbuatan keji dan munkar. 

Salat yang benar ibarat mandi lima kali sehari sehingga tubuh menjadi benar-benar bersih. Begitu pula salat yang benar akan menyucikan jiwa sehingga tidak ada lagi ruang sedikitpun untuk terperosok kepada maksiat.

Salat yang benar akan menghadirkan jiwa yang suci, sehingga tidak akan ada lagi perbuatan keji dan munkar. (F)




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur