Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PUBLIK Tanah Air dibuar heboh karena viralnya sebuah video yang mempertontonkan seorang wanita memamerkan kemaluannya di sebuah perkebunan teh dan dengan latar sebuah jalan yang ramai lalu lalang kendaraan.

Yang membuat netizen kian terkejut adalah aksi yang selama ini dilakukan kaum lelaki, yang konon kabarnya memang susah mengendalikan syahwat, kini justru dilakukan oleh perempuan. Kenyataan ini semakin menyedihkan bagi cobaan atas moral bangsa.

Celakanya, pelaku eksibisionis merupakan wanita bercadar yang belum diketahui benar atau tidak pelaku seorang Muslimah. Sebab, penampilan seperti itu bisa saja dilakukan oleh siapapun. 

Selagi pihak berwajib mengusut fakta-fakta terkait video asusila tersebut, maka ada baiknya kita melihat nilai-nilai kebenaran yang ditegakkan ajaran Islam. Justru dengan viralnya video tersebut, kita memiliki pemantik untuk menelusuri bagaimana perspektif agama mengenai perilaku eksibisionis.

Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm #11: Kitab Induk Fiqih Islam (2020: 6) menjelaskan, kemaluan adalah aurat, sebagaimana kedua bokong juga adalah aurat. Jadi, keduanya termasuk “kemaluan” dari bagian tengah kedua paha yang tersambung dengan kemaluan itu sendiri. Apabila kain disingkapkan dari keduanya, maka tentu kain juga akan tersingkap dari kemaluan.

Inti dari penjelasan Imam Asy-Syafi’i di atas adalah kemaluan termasuk aurat dan kalau mau ditegaskan, itulah aurat yang paling aurat. Dan bagaimana aturan Islam perihala aurat? Begini penjelasan dari kitab suci Al-Qur’an:

Surat an-Nur ayat 31, yang artinya, “Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat.”      

Ayat ini sangat tegas mewajibkan para perempuan memelihara kemaluannya, yang haram dipamerkan kepada orang lain, yang mana kemaluan itu kehormatan diri yang harus ditutupi. 

M. Quraish Shihab pada bukunya Wawasan Al-Qur'an (1996: 214), dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang - bila sendirian atau bersama istrinya - untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang, selain pasangannya, yang mungkin melihat.

Istilah eksibisionis tentunya belum dikenal di masa Nabi Muhammad Saw, tetapi Islam agama yang shalih li kulli zaman wal makan (relevan dengan segala zaman dan tempat). Dari itu pula ajaran Islam selalu mampu menjawab berbagai tantangan masa apapun, termasuk yang berhubungan dengan aksi eksibisionis seperti ini.

Mudahnya, eksibisionis ini adalah aksi yang haram karena melanggar kewajiban menutup aurat. Terlebih, kemaluan itu memiliki daya pikat yang mencemaskan, dan hanya ijab kabul yang dapat menghalalkannya. Dari itulah menutup aurat menjadi ajaran penting dalam agama Islam, yang tidak boleh diumbar kepada pihak lain. 

Muhammad Tahmid Nur dalam buku Menggapai Hukum Pidana Ideal Kemaslahatan Pidana Islam dan Pembaruan Hukum Pidana Nasional (2018: 370) menyebutkan, hukum Islam tidak hanya tegas di dalam menghukum pelaku tindak pidana zina, tetapi lebih dahulu menegaskan pencegahan dari tindak tersebut, di antaranya dengan memerintahkan menjaga kehormatan (kemaluan) dan tidak berbuat eksibisionis (suka memamerkan aurat kepada orang lain).

Hal tersebut juga dikuatkan dengan beberapa ketentuan tegas dalam nas, berupa larangan mendekati dan melakukan zina, beserta sanksi pasti atas perbuatan itu. 

Eksibisionis ini bukan hanya penyakit mental yang merusak pelakunya saja, melainkan juga bisa menyebar hingga menimbulkan berbagai ekses negatif kepada kemaslahatan masyarakat. Anak-anak hingga remaja bahkan juga dewasa bisa hilang kontrol diri sekiranya kemaluan itu diumbar begitu terbuka. Akibatnya, satu orang yang sakit secara mental, tetapi yang rusak bisa masyarakat luas.

Demikian tegas haramnya aksi eksibisionis yang bukan sekadar melanggar kewajiban menutup aurat, bahkan juga sudah menjurus kepada aksi mendekati zina. Maka, hukum positif Indonesia tentu menyiapkan sanksi yang tidak kalah tegasnya, yang tentunya senapas dengan ruh hukum Islam. 

Ada juga hikmahnya kejadian yang membuka perdebatan ini, tentang melihat kembali moralitas yang dijunjung tinggi bangsa ini. Apakah dengan ujian ini akan semakin tangguh atau malah permisif?

Sekiranya heboh-heboh ini didominasi pihak yang kontra terhadap aksi eksibisionis, maka di urat nadi bangsa kita masih ada moralitas.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur